Rabu, 07 Maret 2007

REMAJA YANG DEWASA

Saya diminta oleh redaksi majalah ini untuk menulis tentang remaja yang dewasa. Karena saya tahu bahwa pembaca majalah ini kebanyakan para siswa seminari menengah, maka saya coba membuat tulisan ini dalam konteks pendidikan di seminari menengah pula. Isi tulisan ini dibuka dengan membahas tujuan pendidikan seminari menengah, dan kemudian memaparkan ciri-ciri remaja yang dewasa dalam arti psikologis dan kristiani, yang menjadi tujuan pendidikan di seminari menengah.

Pendidikan Seminari Menengah

Ketika membela thesis saya yang berjudul ‘A Cross-cultural Comparison of the Motivations of Adolescents Entering Minor Seminary,’ salah seorang penguji meragukan perlunya mempertahankan lembaga pendidikan seminari menengah sebagai tempat pendidikan calon imam. Menurutnya, masa remaja (12-18) adalah masa pancaroba. Disebut masa pancaroba karena saat itu seorang anak mengalami perobahan besar secara fisik, cognitive, psiko-sosial, dan moral. Pada masa tersebut, mereka membutuhkan pendamping atau pembimbing yang bisa mengerti akan diri mereka. Pembimbing yang terbaik tentunya adalah orangtua mereka sendiri. Selanjutnya penguji saya itu juga berkata, mendidik seseorang menjadi calon imam secara dini bisa menghambat pertumbuhan aspek-aspek kepribadian lain yang sangat penting dimiliki, yakni otonomi, seksualitas, dan realisme. Bahkan penguji saya itu berkata, “We have priests whose feet do not touch the ground.”



Keraguan penguji saya tersebut akan effektivitas seminari menengah sebagai tempat pendidikan calon imam sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Pada tahun 1965 James Michael Lee sudah menganjurkan agar seminari menengah sebagai tempat pendidikan calon imam ditutup saja. Karena katanya, menurut hasil penelitian di sejumlah seminari menengah di Amerika Serikat, bahwa rata-rata siswa yang tarik diri adalah 90%, dan hanya satu seminari memiliki 18% dari siswa tahun pertamanya ditahbiskan menjadi imam. Selanjutnya, Lee mengatakan untuk menjadi seorang imam yang effektiv, seseorang pertama-tama harus mengalami kehidupan normal, sebagaimana remaja pada umumnya. Singkat kata, bagi Lee seminari menengah sebagai tempat pendidikan calon imam sangat tidak effektiv dan effisien.

Keraguan di atas bukannya tanpa penantang. Sejumlah orang yang mendukung pendidikan seminari menengah berargumentasi bahwa kategori umur siswa seminari menengah (12-20) adalah masa pembentukan identitas, dan karena mereka dimaksudkan untuk memiliki identitas seorang imam (dengan tekanan pada spiritualitas, yakni., penyangkalan diri, doa, dan ketaatan), maka seminari menengah adalah waktu yang paling tepat untuk membentuk mereka menuju identitas seorang imam. Selanjutnya Dougherty (1980), dalam penelitiannya yang berjudul the Rate of Perseverance to Ordination of Minor Seminary Graduates, berhasil membuktikan bahwa seminari menengah masih menjadi suatu lembaga yang tepat bagi Gereja Katolik untuk mempersiapkan calon-calon imam, dan di seminarilah panggilan para remaja menjadi imam diperkuat.

Daripada terjebak pada polemik yang tak habis-habisnya akan effektivitas seminari menengah sebagai tempat persiapan calon-calon iman, saya pribadi lebih tertarik memberi perhatian pada hasil rapat para rektor Seminari Menengah pada tahun 1987. Disebutkan bahwa tujuan pendidikan Seminari ialah: “Membantu para siswa dalam usahanya menjadi pribadi yang dewasa dalam arti psikologis dan kristiani, sehingga mereka menemukan identitas diri sebagai calon imam.” Artinya, pertama-tama tekanan harus diberikan pada perkembangan pribadi yang dewasa dalam arti psikologis dan kristiani, yang menjadi syarat mutlak untuk mampu membuat keputusan mantap menjadi imam atau tidak. Tujuan tersebut sejalan pula dengan apa yang digariskan oleh konfrensi para uskup di Amerika serikat yang menyatakan bahwa pendidikan seminari menengah seharusnya menolong para kaula muda yang tertarik menjadi imam untuk bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa.

Bila kita sepakat, bahwa tujuan pendidikan di seminari menengah adalah membantu para siswa untuk bertumbuh secara dewasa, maka mari kita melihat ciri-ciri pribadi yang dewasa dalam arti psikologis dan kristiani.

Kedewasaan Psikologis

Psikolog Ellen Greenberger dan teman-temannya telah mengembangkan sebuah konsep kedewasaan yang menekankan tiga dimensi: (1) kemampuan bekerja/berkarya sesuai apa yang mereka miliki; (2) kemampuan berinteraksi dengan orang lain; (3) kemampuan memberi kontribusi terhadap kehidupan bersama.

Dimensi yang pertama mencakup percaya pada diri sendiri dan mampu berkarya sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Dimensi kemampuan berinteraksi dengan orang lain meliputi kemampuan berempati terhadap orang lain, kemampuan untuk percaya (hal ini termasuk kesediaan untuk bergantung pada orang lain, dan mau mengakui situasi yang beraneka ragam yang mungkin membatasi kemampuan untuk percaya), dan kemampuan menampilkan sikap yang tepat di dalam tugas yang beraneka-ragam. Sementara dimensi ketiga, yakni kecakapan memberi kontribusi terhadap kehidupan bersama, meliputi komitmen sosial (yakni, mengembangkan perasaan berkomunitas, bekerja demi tujuan, dan mampu membentuk persekutuan dengan orang lain), keterbukaan terhadap perubahan sosial-politik, dan toleran terhadap perbedaan-perbedaan di dalam diri orang lain (menerima orang lain dalam hal siapa dan apa mereka, serta sensitive terhadap perbedaan-perbedaan ini).

Berdasar pada ketiga konsep kedewasaan tersebut, Ellen Greenberger dan teman-temannya membuat penelitian terhadap sejumlah remaja. Hasil riset tersebut memperlihatkan perbedaan antara remaja yang tinggi dan rendah tingkat kedewasaannya.

Di antara remaja pria, para peneliti menemukan bahwa mereka yang rendah tingkat kedewasaannya cenderung kurang refleksi diri, dan rendah kesadaran dirinya (self-awareness). Remaja ini lebih perhatian pada situasi sekarang daripada masa depan. Mereka memperlihatkan suatu kepercayaan yang besar terhadap faktor-faktor eksternal, daripada faktor internal. Dengan kata lain, kesan-kesan orang lain atas diri mereka lebih penting bagi mereka dari pada faktor-faktor dalam diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi, remaja-remaja yang kurang dewasa memperlihatkan ketergantungan yang kuat pada orangtua mereka, cenderung aggresiv, dan memiliki kesulitan dalam membuat teman, serta sulit menjalin relasi intim dengan orang lain. Mereka cenderung menilai teman atas apa yang mereka dapat berikan untuk dirinya.

Sebaliknya yang terjadi pada remaja pria yang tinggi kedewasaannya. Mereka kurang memberi perhatian pada hal-hal material, tetapi menempatkan nilai yang lebih tinggi pada sekolah, hobi, dan aktivitas religius. Remaja pria yang dewasa tertarik pada bermacam-macam aktivitas, dan memang mereka aktiv. Mereka tidak terlalu bergantung pada kesan orang lain akan diri mereka. Perhatian mereka akan masa depan mereka sungguh besar. Selanjutnya, mereka memperlihatkan kemampuan untuk menguasai dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka, serta sungguh perhatian akan tujuan pribadi.

Manusia Kristen yang Dewasa

Melihat ciri-ciri remaja yang dewasa dalam arti psikologis tentu tidak cukup. Pusat hidup orang kristen adalah Yesus Kristus. Orang yang berpusat pada Kristus ditandai oleh tampaknya nilai-nilai kekristenan dalam dirinya. Pertanyaannya adalah apa ciri-ciri manusia Kristen yang dewasa?

Shelton S.J. (1983) dalam bukunya “Adolescent Spirituality Pastoral ministry for High School and College youth” menyebutkan ada 7 ciri manusia Kristen yang dewasa, yang sudah dapat dihayati pada masa muda. Sebenarya 6 dari ke-7 ciri tersebut sudah dipaparkan dalam buku kenangan “Pesta 40 tahun Seminari Menengah”. Namun demikian ijinkan saya mengutipnya kembali dalam tulisan ini.

a. Berpusat pada Kristus
Ciri khas remaja yang dewasa adalah berkembang dan mendalamnya relasi dengan Yesus Kristus. Hubungan pribadi tersebut nampak apabila siswa mampu menerima Yesus sebagai Tuhan, Pembimbing, dan Sahabat dalam menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup mereka serta bila menghadapi masalah hidup.

b. Tanggungjawab sebagai orang Kristen
Hubungan pribadi dengan Kristus tidak cukup hanya pada pengakuan iman atau kesalehan lahiriah. Tetapi perlu diwujudkan dalam tanggungjawab menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Kristiani dalam hidup sehari-hari, seperti keadilan, kejujuran dan cinta kasih.

c. Hidup doa
Kedewasaan kaum muda, yang didasarkan pada pengalaman personal dengan Yesus dan tanggungjawab terhadap nilai-nilai kristiani, akan terdukung dan terpupuk dengan semakin tumbuhnya pengalaman doa dari kaum muda itu sendiri. Dengan pengalaman doa ini kaum muda akan semakin menemukan makna dari kehadiran Yesus dalam hidup mereka. Relasi pribadi ini akan mendorong kaum muda untuk semakin peka dan terbuka terhadap suara Tuhan yang memanggil mereka.

d. Kepedulian terhadap orang lain
Tumbuhnya relasi personal dengan Yesus, terbentuknya nilai-nilai kristiani, dan pengalaman hidup doa berkaitan erat dengan perkembangan keterbukaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Pertemuan dan persatuan dengan Kristus dialami melalui pertemuan dan pelayanan terhadap sesama manusia. Semakin dewasa seseorang, semakin besar perhatian dan semangat pengorbanannya terhadap orang lain.

e. Keterbukaan
Remaja yang dewasa dicirikan oleh berkembangnya sikap terbuka terhadap orang lain, pengalaman, gagasan-gagasan dan masalah-masalah baru. Mereka melihat bahwa semua hal itu menolong mereka untuk mengenal dan mengerti dirinya sendiri. Selanjutnya, pengenalan diri tersebut akan mendorong seseorang untuk berpikir lebih kritis terhadap dirinya serta mempertanyakan dirinya lebih mendalam tentang arti dan makna hidupnya.

f. Penerimaan diri
Remaja yang dewasa berkembang juga dalam penerimaan diri. Mereka tahu akan kemampuan-kemampuan dan keterbatasan-keterbatasan dirinya. Pengenalan diri itu membuat mereka bersikap realis dalam melihat masa depan, dan dalam mengungkapkan diri secara benar dan dalam menghadapi tantangan hidup secara seimbang. Remaja yang dewasa juga ditandai oleh perkembangan pengertiaannya bahwa perkembangan pribadi (meliputi segi jasmani, intelektual, emosional, sosial dan spiritual) merupakan proses sepanjang hidup yang menuntut kejujuran dan kerendahan hati, bimbingan dan nasihat dari orang lain.

g. Kemampuan melihat rahmat Tuhan dalam diri
Remaja yang dewasa berkembangnya juga kemampuannya untuk melihat cinta Tuhan sebagai sebuah rahmat dalam hidup mereka. Mereka mampu melihat bahwa talenta dan relasi personal yang mereka miliki merupakan rahmat Tuhan, bahkan hidup mereka sendiripun adalah rahmat juga.

Oleh: Daniel Erwin Manullang OFMCap.

3 komentar:

  1. monang Sijabat O.Carm23 November 2007 pukul 06.14

    Tulisan menjadi remaja yang dewasa sangat baik pastor. usul saya, ada baiknya dibuat program atau pelajaran khusus bagi para seminaris dalam hal psikologi kepribadian remaja,sehingga para seminaris mampu membuat suatu pilihan dan penegasan dalam perkembangan hidupnya sesuai dengan pengenalan dirinya. dulu kami tidak mengenal hal-hal demikian Pastor. Mauliate.

    BalasHapus
  2. saat ini saya akan membuat tesis tentang "Seminari Menengah: Saat Penyemaian Benih-benih Panggilan Imamat". Benih panggilan di SM barula tahap awal, tahap penyemaian benih, maka apa yang harus dilakukan di SM? apa yang tidak boleh?
    Apakah mungkin kita bisa berdiskusi lebih lanjut soal ini?
    Terima kasih atas bantuan Romo.

    BalasHapus
  3. Dear Kurniawan,
    senang sekali kalau bisa berdiskusi denganmu tentang pendidikan di Seminari. Saya sangat membutuhkan sumbang saranmu pada pendidikan calon-calon imam, khususnya di Seminari Menengah.
    Bisa dikirim ke email seminari: seminari.pematangsiantar@gmail.com.
    Bisa juga dilemparkan di blog ini, supaya lebih banyak orang terlibat dalam diskusi.
    Terima kasih.
    Daniel Erwin Manullang OFM Cap.

    BalasHapus

PENDAFTARAN DAN PELAKSANAAN TESTING SEMINARI MENENGAH P.SIANTAR TP.2025/2026

Salam Sehat dan Salam sejahtera bagi kita semuanya. Semoga hari-hari kita selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan ini kami info...