Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 September 2008

BAHASA LATIN: NIHIL SINE LABORE


NIHIL SINE LABORE



            Familia humilia in vico parvo habitat. Haec familia duo filios habet. Filius primus, nomen tuum Willius, studiossimus est. Willius cotidie matrem suam in agro et in domo adiuvat et etiam Willius peritus discipline in schola est. Willius semper praemium magistro accipit. Willius fratrem parvum habet quem nomen tuum Saulus est.

             Saulus pigerrimus est, saepe in oppido ambulat et cibos dulcos emet. Ideo parentes cotidie gemunt quia Saulus semper pecuniam suam capit.

             Quadam die pater eorum morit quia scelus Saulus est. Willius tristissimus  est, quam pater eorum morit, Saulus scelerem non mutat. Willius semper Saulum admonet. Tandem Willius non scholam constitit ut Saulum constontat. Tamen mater sua factum Willii indignorat. Willius flet et factum suum paenetit.

             Tum Saulus tristiam Willi videt, deinde Saulus  etiam flet. Postea Saulus scelerem suum mutat. Saulus semper matrem suam orat, ut mater sua laetus sit et cotidie  Willium in agro adiuvat. Willius lateissimus est. Ideo Willius matri orat ut Saulus in scholam  vadat. Willius fratrem tuum admonet,” O, Saule impigrum te stude!”. Laetitia eorum ille tristiam mutat, quin mater eorum morit. Saulus et Willius tristissimus sunt.

             Nihil ab ers commetit. Tandem Saulus semper in scholam fadit et Willius semper in agro laborat.

             In delcana annos sequentis, Saulus et Willius divitem fiunt, quia Saulus medicum fit et eventus agri Willii semper bonus est.






Kosa Kata

Habitare          : tinggal

Habere 2         : mempunyai

Primus             : yang pertama

Gemere 3         : mengeluh

Emere 3           : membeli

Admonere 2    : menasehati

Cibus-i : makanan

Laetus-a-um    : gembira

Tristitia-ae       : kesedihan

Laetitia-ae       : kegembiraan

Cotidie                        : setiap hari

Nihil Sine Labora        : tiada satupun tanpa kerja berat

Orare               : memohon

Adiuvare         : membantu

Capere-cepi-captus ¾  : mengambil

Accipere-accepi-acceptus ¾ : menerima

Medicus-i        : dokter






Oleh : Rico & Leonardo

Gramatika A    2007/2008

CERPEN: DI SANA MEREKA MERASAKANNYA

DI SANA MEREKA MERASAKANNYA


 


Angin pagi yang sejuk dan terpaan bau-bauan yang segar dari rumput-rumput yang basah menyambut langkah Deva yang baru saja turun dari kamar tidurnya, ditambah suasana merdu burung pipit yang bersarang di pepohonan sekitar halaman asrama itu. Seperti biasanya, sebelum mandi Deva harus memulai senam sederhana dengan beberapa gerakan yang diciptakannya. Setelah cukup melenturkan yang semalaman kaku, barulah Deva bergegas ke kamar mandi.


            Dua tahun yang lalu, setelah Deva lulus dari SMP, ia memilih untuk tinggal di asrama melanjutkan masa pendidikannya di bangku SMA. Kini Deva telah memduduki dan melewati tahun kedua di asramanya dan juga di sekolahnya.


            Selesai bersiap diri dari kamar tidur, saatnya bagi seluruh isi asrama untuk menghadap ruang makan, tentunya untuk sarapan pagi. Selama acara makan berlangsung, tiba-tiba pikiran Deva melayang mencoba memutar kembali ucapan Dami dua hari yang lalu ketika mereka berkumpul bersama di ruang kelas.


            “Dev, kamu harus tegas dong dalam hal ini. Masa sih kita jadi disepelekan oleh anak-anak baru itu!” Dami berujar dengan nada emosi yang sedang menggelora dalam hatinya. Memang, emosinya tidak ditujukan kepada Deva, melainkan pada anak-anak baru yang sering membuat ulah di asrama. Antara Dami dan Deva memang telah terjalin hubungan persaudaraan, Dan bukan hanya mereka, tetapi seluruhnya yang bergabung dalam kelas II IPA. Sehingga segala tindakan yang akan dilakukan harus disetujui oleh semua personil kelas. Jika tidak, maka suatu tindakan tak mungkin terlaksana. Demikian juga halnya ketika Dami dan teman-teman selain Deva, mengusulkan akan memberikan pelajaran kepada anak-anak baru. Namun, jawaban Deva selalu bernada tidak setuju walaupun dikatakan secara halus.


            “Saat kita kelas satu dulu, banyak sekali tangan-tangan kasar yang melayang kepada kita. Kini ketika kita berhak untuk melakukannya, malah tidak kita lakukan? Lagian sikap mereka itu sudah keterlaluan.” Demikianlah selalu ungkapan Dami untuk membujuk sahabatnya sambil menunjuk kepalanya yang pernah bengkak akibat abang kelas, namun usahanya masih terhalang. Sambil meneguk the manis yang tersedia, pikiran Deva selalu dibayangi oleh permohonan-permohonan teman-temannya. Apalagi setelah mengingat bahwa nanti malam terakhir kalinya pertemuan mereka untuk membicarakan hal itu.


            Jam pelajaran terakhir tiba, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi teman-teman bilang bahwa bapak guru tidak datang, karena kebetulan ada urusan keluarga.


            “Cuti hamil kali…” ujar Toni seenak perutnya. Toni memang anak yang paling lucu di kelas. Hanya melihat wajahnya saja, orang telah terlebih dahulu terpingkal-pingkal apalagi mendengar ucapannya. Tetapi di sudut ruangan sana, Deva tidak menghiraukan lelucon apapun. Deva mencoba membuka novelnya yang akan diresensinya untuk tugas Bahasa Indonesia. Sekalipun pandangan Deva tertuju pada kumpulan kertas yang penuh misteri itu, akan tetapi, pikiran utamanya sudah melayang jauh kemasa lalunya.


            Dijangkaunya putaran pita rekaman memorinya untuk melihat masa-masa lalu dengan musuh bebuyutannya, tetapi sangat disayanginya yang tak lain adalah ibu tirinya. Ketika Deva berumur 7 tahun, sang ibu tercinta dipanggil menghadap sang Ilahi. ± 8 bulan setelah kejadian itu, Deva dan kedua orang adiknya Deo dan Dirley berada di bawah asuhan seorang ibu tiri.


            Orang banyak berkata bahwa seorang anak yang berada di bawah asuhan seorang ibu tiri, pada umumnya akan membenci ibu tiri tersebut akibat sikapnya yang semena-mena. Akan tetapi lain halnya dengan Deva. Walaupun selalu diperlakukan secara kasar oleh ibu tiri, namun Deva selalu bersikap ramah terhadap ibu tirinya. Sikap itu juga selalu diterapkannya kepada Deo dan Dirley. Sehingga secara bersama-sama mereka selalu mengasihi dan bersikap ramah terhadap ibu tiri mereka.


            Bila dibayang-bayangkan, kehidupan Deva tak jauh berbeda dengan kehidupan yang dialami oleh Dami. Mereka sama-sama diasuh oleh tangan-tangan kasar. Akan tetapi mengapa antara prinsip Dami dan Deva jauh berbeda? Seharusnya Deva mendukung siasat teman-temannya untuk mengadakan kekerasan pada adik-adik kelas. Bahkan 1½ tahun setelah hubungan rumah tangga ayah dan ibu tirinya terjalin, ayahnya seakan telah berubah sifat. Yang dulunya bersikat lembut terhadap Deva dan adik-adiknya, tetapi kini sikatnya telah berubah. Tidak terdapat lagi unsur-unsur kelembutan dalam hati sang ayah. Sikat itu kini telah diganti dengan kekerasan kepalan tangan yang penuh dengan urat-urat otot dan tentunya pelampiasannya adalah Deva dan adik-adiknya.


            Studi malam telah usai ditandai dengan dentang nyaring lonceng. Kebiasaan kelas Deva untuk mengadakan perkumpulan kelas tepat ketika studi malam berakhir. Jelas bagi kelas II IPA bahwa malam inilah terakhir kalinya pertemuan diadakan untuk membahas tentang kelakuan-kelakuan akan-anak baru ataupun adik kelasnya. Semuanya memberikan beberapa pendapat mengenai hal itu.


            “Kalau aku nanti, jika siasat ini disetujui, sudah ada 3 anak yang kuincar,” demikian terdengar lagi kicauan Toni. Sudah barang tentu ketiga orang anak ini diincar Toni, sebab mereka lain daripada yang lain. Kulit mereka menyerupai kulit Negro. Hingga Toni menyebut mereka “Trio Negro.”


            Deva hanya bisa mengumbar senyum setelah mendengar tawa canda temannya. Namun ketika Deva mulai merangkai kata-katanya untuk membentuk suatu kalimat semuanya dalam keadaan hening.


            “Teman-temanku aku, aku bisa mengerti semua perasaan kalian. Aku dapat merasakan apa yang kalian inginkan sekarang. Selama kurang lebih 1 tahun kita berada di bawah penindasan abang-abang kita di asrama ini dan kini kita bersiasat untuk membalaa\s dendam bukan? Walaupun banyak alasan yang dapat diputarbalikan dalam hal ini, tetapi semuanya menurutku sama saja, hanya menunjukan kepada mereka bahwa kita pendendam. Situasi hidupku dengan Dami précis sama dan kita semua mengetahui hal itu. seharusnya aku mendukung ide Dami bukan? Namun kesamaan itu tidak dapat dialihkan menjadi kesamaan di prinsip kita. Maaf jika aku telah mengecewakan teman-temanku di sini. Jika kalian ingin meneruskannya, silahkan. Dengan senang hati, aku tidak akan pernah menghalanginya dan tidak berhak tentunya dalam hal itu. Tetapi beberapa hal perlu kuingatkan kepada teman-teman, apakah kita mempunyai adik? Apakah mereka akan tetap bersekolah, layaknya kita sekarang? Apakah teman-teman menyayangi mereka? Dan bagaimanakah perasaan teman-teman jika sang adik tercinta diperlakukan lebih keji dari yang pernah kita lakukan terhadap orang lain? Demikian halnya denganku saat ini. Jika aku sampai menyentuh tubuh adik-adik kelas dengan kasar, sama saja aku telah melakukannya kepada adik-adikku sendiri di sana. Jika aku melihat satu diantara adik-adik kelas kita menerima suatu konsekuensi, adik-adikku sendirilah yang menjadi sosok penerima di dalam bayanganku. Mungkin tidak semudah ini untuk menjelaskan kepada teman-teman saat ini. Bagiku cukuplah di tempat itu mereka merasakannya, aku tidak ingin melihat mereka mendapat yang lebih dari itu di tempat lain.”


            Setelah mendengar penjelasan Deva, teman-teman banyak yang keberatan dengan segala unek-unek, terutama Anwar dan Toni. Toni yang selalu melucu kini sungguh serius menanggapi ujaran Deva. Anwar merupakan salah satu dari mereka yang mempunyai tubuh besar dan tinggi, sehingga teman-teman sering memanggilnya dengan julukan “Bomber.” Selama menjalani tahun pertama di sekolah ini, dapat dikatakan Anwar-lah yang paling sering menerima hukuman yang sungguh keji.


            “Maaf, bagiku itu semua sama. Mau dibilang pendendam, pengecut atau apapun itu, tidak masalah bagiku. Bagiku sekali berniat, harus dijalankan. Tidak mungkin menyiakan donor darah yang telah kusumbangkan kepada abang-abang kelas selama ini.”


            Demikian ujaran Anwar setelah mendengar penjelasan Deva. Memang benar apa yang dikatakan Anwar. Setiap hukuman yang ia terima dulu selalu diikuti aliran darah, sehingga kini Anwar sangat bersungguh-sungguh untuk membalaskan dendamnya.


            “Sorry Dev, saya rasa ini menyangkut harga diri. Adik-adik kelas akan semakin meraja rela karena kita dianggap telah bertekuk lutut pada mereka.” Toni berujar demikian dengan serius.


            “Teman-teman, aku menganggap dan menyimpulkan hal ini menyangkut perasaan kita. Ada tidaknya perasaan di dalam diri kita di situ jugalah ketergantungan hal ini, tanpa mempersalahkan pendapat Toni. Dan bagi Anwar, sekali lagi, aku tidak punya hak untuk menghalangi niat Anda. Namun aku minta maaf jika aku sendiri tidak bergabung ataupun mengecewakan teman-temanku dalam hal ini.”


            Kalimat terakhir dalam penjelasan Deva, membawanya hingga ke peraduan malam terang. Di satu bintang yang ditatapnya ia berseru akan hadirnya perasaan kasih dan sayang diantara sesamanya.


 


Marsonang Daud Situmorang


Probatorium C 2007-2008

CERPEN: CINTA TAK TERBALASKAN

CINTA TAK TERBALASKAN


 


Kembali jalan setapak itu kulalui. Harum semerbak bunga melati yang tersentuh embun pagi menelusuk hidungku. Kapling-kapling kehancuran hati mulai terpendam dalam keheningan. Semuanya telah terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.


            Semua tak akan mengerti. Semua kebahagianku kini hanya kenangan. Kerikil-kerikil tajam harus kutempuh untuk mencapai tujuanku. Dalam perjalanan langkahku terhentak di sebuah pohon beringin yang rindang. Pohon itu kelihatan tenang menyimpan sejuta kenangan. Ia hanya menjadi saksi bisu atas pahitnya penderitaanku. Di bawah pohon itu aku duduk dan mengenang semua kejadian yang menggilas hidupku.


            “Jesika…Jesika… tunggu… !” teriakku seakan menyuruhnya berhenti. Ia berpaling dan bingung sendiri melihat tingkahku yang penuh semangat dan aneh. Aku berdiri disampingnya dan berjalan menuju pintu gerbang sekolah.


            Waktu itu kira-kira 10 menit lagi pukul tujuh. Kami duduk diserambi kelas tanpa berbicara sedikitpun. Aku hanya memandang wajahnya yang bersih, cantik, dan bercahaya. Aku begitu menyayangimu, kataku dalam benakku. Tapi, aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.


            “Hi… pagi-pagi gini kok dah ngelamun?”


            “Nggak…nggak ada apa-apa kok…?


            “Jes, nanti siang kita pulang bareng, bolehkan?” kataku  dengan penuh keragu-


            raguan.


            Ia hanya membalas dengan senyuman. Aku tertegun seketika, berarti ia setuju.


            Teng…teng…teng…, lonceng sekolah berbunyi. Aku masuk ke kelas dan duduk di bangku paling depan. Sejak awal aku tahu mengapa hatiku selalu gelisah. Aku terus membayangkan apa yang akan terjadi. Mengapa aku tak berani mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Sampai kapan aku harus menahan gejolak hati ini. aku tak bisa begini terus. Aku tahu dia juga memiliki perasaan yang sama seperti aku.


            Sesekali kupandang ke depan. Seorang guru yang gendut, jelek bagaikan buldoser terlihat sedang menerangkan pelajaran yang terlalu sulit kupahami. Ia hanya menambah beban hidupku. Pelajarannya begitu membosankan monoton dan sulit kupahami. Aku muak dengan semua ini. aku hanya bisa duduk manis dengan pandangan terarah ke depan. Aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaannya.


            Seketika itu pula terlintas bayangan wajahnya. Aku begitu merindukannya. Aku tak bisa lagi menahan gejolak cinta yang membuatku gelisah. Aku begitu takut kehilangan dirinya. Lamunanku terus berlanjut hingga bel pulang berbunyi. Aku tersadar dan langsung menemui Jesika di kelasnya.


            “Jes, jadikan pulang bareng?” kataku dengan penuh keraguan.


Ia hanya membalasnya dengan senyuman. Kamipun mulai menyelusuri jalan kecil beraspal tanpa berbicara sedikitpun. Mungkin rasa malu masih menghantui pikiran kami. Hingga langkah kami pun terhenti di sebuah pohon beringin. Pohon itu memberikan suasana sejuk bagi kami berdua. Kami duduk berdekatan tepat di dekat pangkal pohon itu.


            Di sini aku mulai memecahkan kesunyian dan bertanya,


            “Bagaimana pelajaranmu di sekolah.”


            Aku tak tahu apa yang hendak aku katakan. Ini adalah pengalaman pertamaku mengajak seorang gadis berdua. Kemudian ia menjawab dengan penuh keramahan.


            “Biasa-biasa saja, sama seperti hari sebelumnya”.


            “Ooo”, jawabku”.


            Hatiku mulai tidak tenang. Perasaanku sangat takut. Hati kecilku berkata, “Aku takut kehilangan dirinya”. Tapi perasaanku itu kuabaikan begitu saja. Waktu itu kira-kira pukul 12.30. Aku mulai mengutarakan seluruh isi hatiku padanya. Ia hanya tertegun melihat wajahku yang bimbang dan penuh harapan. Aku mulai menjamah tangannya dan berkata:


            “Jes, aku sangan menyayangimu, maukah kamu jadi pacarku?”


            Ia menjadi bertambah bingung dengan sikapku pada saat itu. aku memandang wajahnya dengan penuh harapan. Ia kelihatan bingung mempertimbangkan apa yang harus ia katakan padaku. Aku yakin bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama seperti aku. Tapi, ia hanya malu mengutarakannya.


“Aku belum bisa menjawabnya sekarang, beri aku waktu 2 hari untuk memikirkannya matang-matang”, katanya dengan penuh pertimbangan.


            Aku hanya mengiakan perkataannya. Kamipun pulang menyelusuri jalan yang mulai agak ramai dangan kendaraan. Ia kelihatan melamun memikirkan sesuatu. Ia tidak lagi memperdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika hendak menyeberangi jalan tiba-tiba sebuah mobil sedan datang dari arah kanannya dan menyambut tubuhnya. Sambarannya sangat dahsyat, hingga tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Semuanya menjadi kalang kabut. Aku tidak peduli lagi sendu yang terjadi di antara kekacauan. Aku berlari menghampirinya yang penuh berlumuran darah.


            “Bertahanlah Jes… kamu pasti selamat”.


            Aku memangku tubuhnya dan berharap ia akan bertahan. Tetapi semua terjadi begitu cepat. Tubuhnya membujur kaku menunjukkan ketidakberdayaannya. Tanpa kusadari genangan air mata mengucur deras. Semua terasa pedih dan menyakitkan. Aku sangat menyesal membiarkan dirinya pergi sendiri. Aku sangan egois.


            Semuanya kini telah terjadi. Kini ia pergi meninggalkan aku dalam kesendirian. Nasib begitu kejam menghancurkan kebahagianku.


 


By: Arie Kristanto


Probatorium B 2007-2008

Senin, 02 Juni 2008

CROSS CULTURAL UNDERSTANDING

Basically, every place has their own values of culture. When we are in one place, we must obey its cultural values.


 


            East and west, the different sides of earth have many differences of cultural values.


 




  1. Equality and Egalitariannism


West value       : all people are created equal thus they have no rank or status in         their society. Notice that it’s only an idea, not a fact at at all.


East value         : they have hierarchy, rank or status in their society. It’s made for knowing their status or position in society. And they always look their status when they have a relationship to other people.


Our ethnic group , Batak Simalungun, is in the East value. It looks clearly when we have a traditional celebration ,especially a marriage celebration.


Simalungun hierarchy ,which is called ‘Tolu Sahundulan’,  consists of:


1)      Tondong


2)      Sanina


3)      Boru


We will discuss them, one by one:


1)      Tondong


Parents of a bride are called ‘Tondong’. ‘Tondong’ is the highest status in family relationship. In marriage celebration, only ‘Tondong’ gets ‘Jambar’(a piece of meal). It shows us that Tondong is the highest status in Simalungun ethnic group.


2)      Sanina


The brothers of bridegroom are called ‘Sanina’. ‘Sanina’ is lower than ‘Tondong’ but higher than ‘Boru’. It looks clearly in marriage celebration, ‘Sanina’ always be the second in giving foreword (Siparhata).


3)      Boru


The sisters of bridegroom are called ‘Boru’. ‘Boru’ is the lowest status in Simalungun ethnic group. They get no jambar and always be the last who give foreword.


 




  1. Directness, Openness and Honesty


West value       : honesty is the best policy. People should express themselves openly. It is not considered good to “ bear around the bush”.


East value         : indirectness and “saving tace”. People should consider one another’s feelings when deciding what to say. Honesty is not always the best policy.


Batak Simalungun, is in the East value. Our people always notice the other feelings. They can’t say something directly, moreover when they disagree with someone. They always consider the other feelings.


It looks clearly in traditional dance of Batak Simalungun, 'Tari Somba'.


This traditional dance is usually danced in opening a formal celebration. It’s aim is giving honour to the guests.


And if we pay attention to the detail, we will see that the dancers always look at the ground. They never look at the guests directly. It shows us that they always consider one and others feelings




  1. Informally


West value ®    First name usage( Just called "Bob”). It’s not so important for other                            people to know our title or last name.


East value  ®      usage of titles are common. People are retrained and polite with each other.


 


                          


Our people always need to know our titles. For them it is so important to know that because they will know how far their relationship is, by their title. If they have a same title, conversation will be relaxed and deeper than they have different titles. They usually want to know our hometown or the hometown of our father. And it can be more than knowing our identity but also our family’s identity.


 


In Batak Simalungun it looks clearly in their traditional song, Pos ni Uhur.


In one lyrics


      “… Putus ma boru Girsang


                        sambung boru Saragih, Otene boto…”


 


It shows that they usually use the titles, it doesn’t matter what their first name is.


It can be better if we know our ordinary culture, then also try to progress our culture, because culture is a dynamic thing. All of culture have positive and negative things,


 


And we must recovered our culture because it’s not bad at all. And it will be better if we can mix them, so that it can be the best for our future.


 


                                                                                         


                             


                                                                    Risky Yakob Purba


                                                                  Poesis IPA 2007-2008


 


 


 


 


 


 


 

DISCIPLINE




 


We are what we always do repeteadly, therefore, specialty is not a behaviour, but a habit. (Aristotle)


 


   What is the discipline? Discipline is taken from latin language, disciplina, which means orders. So discipline is doing things in orders. It is difficult to do everything in order for some people because they’re not usual to do that. But before we’re talking further how to do everything in order, let’s see why do we have to be discipline.


            Stephen R. Covey in his book “The seven habits of highly effective people” put discipline in one of the seven habits he mentioned. The seven habits, help men to be success. Of course everyone want to be success, and there are a lot of books and speeches which tell us the way to be success. But I just want to emphasize two points this time, they are: 


 


1)      Making a private management principles


2)      Doing the principles as a habit


 


Making a private management principles means managing yourself by principles you’ve decide. But what principles do you want to apply to be discipline? I think, all of the principles are just about arranging time.


The most usual  problem which people face in discipline is the lack of time. People -usually said: “I don’t have enough time”, but everyone has been given a same time, a same day, a same week, no one in this earth who has been given 25 hours a day, but why do many people have enough time to do their activity but the others don’t.


Maybe we can say that everyone have different activities, but let’s make a closer example. We are seminarians, who have the same activities everyday. Especially in a same class, we have same homeworks and jobs to do. But it’s usual for some of us to do our activity on time while the others don’t. In this case the problem must be in arranging time. Not all of the students can arrange their time well, although most of our time had been arranged. We  have not much spare time in a day, it’s only about 3 hours a day, but why do we can’t use it efficiently? 


I think, the most usual problem is that most of us do not do our activities on time, we're not discipline. There are some of us, seminarians,  who sleep when we should study, read novels when we should sleep and do others indisciplined actions. These indisciplined actions will result bad effects on us. These bad effects such as: we will get bad school grades, our health will be decreased, many people will hate us because we do not follow the rules.


I have two suggestion for us to build a discipline attitude:


 




  1. Do you activities on time and as you’ve been ordered


Maybe this suggestion seems too simple but this is the most important action to be discipline. Shortly, it means you have to speech when it’s time to speech, and you have to sleep when it’s time to sleep, and you have to hear when it’s time to hear. Imagine if the doctors plow the fields, the policeman injecting the patients, it won’t be funny, will it? So do you activities on time and as you’ve been ordered.




  1. Make a priority.


            We have to do the most important thing first, the secondary next, and so on. Of course we have our own priority. But especially as a student, our most priority is to study well.


I have not much advise for us . But I’m sure if we do these two suggestions well, we will get good effects.


Habit is a strong factor in our life, for our consistency and what we do, habit always express our character .


 


Thank you,


 


 


                                                                             Richardo Marpaung


                                                                             Syntaxis IPA 2007


                                                                             

Rabu, 19 Maret 2008

HOW TO BE A GOOD LEADER

 Good leaders are created, not born. If you have the desire and will power, you can become a good leader. Good leaders are created by a never ending process of study, education, and experience.

At this time, I’ll try to explain what leadership is, ‘leadership’ is the ability to get extraordinary achievment from ordinary people. And the matter is people usually think the ordinary. That’s the reason why the world really needs leaders. We need someone to tell us the precious of life.


             Nuthobe and friends are workers. Now they are building a big onament at the center of this town. Salestinus, a scholar, asked Nuthobe, ‘What are you doing, Nuthobe?’  And then his responses were to complain that he is virtually a slave, an underpaid bricklayer who spends his days wasting time, placing bricks on top of one another. Salestinus asked him again, ‘What are you building?’ Nuthobe responed, ‘I’m not sure, no one leads us, he just acted like our boss, and he never showed that he is the leader, do you know his name, James?’ 

            Although your position as a leader gives you the authority to accomplish certain tasks, this power does not make you a leader… it simply makes you the boss. Leadership differs in that it makes the followers want to achieve high goals, rather than simply bossing people around. Leadership is the ability to get followers. Do people follow you willingly?


To help you be, and do as a leader, I would like to tell you some principles of leadership:

  • Know yourself and seek self-improvement


Seeking self-improvement means continually strengthening your attributes. This can be accomplished through self-study, reflecting, and interacting with others.





  • Make decisions on time


Find the key to overcome the problem. Fast tempo is essential for success, do it, try it, fix it. There are too many people who spend too much time to try making something perfectly before they really do it. Instead of waiting for perfection, run with what you’ve got and fix it as you go.





  • Set the example


Be a good role model for someone else. They must not only hear what they are expected to do, but also see. Mahatma Gandhi said, “We must become the change we want to see.”


Keep asking yourself, ‘What kind of company would my company be if everyone in it is just like me?’



I would like to give you some major factors in leadership, they are: follower, communication, situation and also leader. Every factor is important to each other. When one of them infected, others will be infected too.



Ø      Follower


You must know your people! The fundamental point is to have a good understanding of human emotions, needs, and spirits. Different people need different method of leadership.



Ø      Communication


There are two kinds of communication, which can be used to communicate: nonverbal and verbal. Better is nonverbal. When you ‘set the example’, you communicate to others that you would not ask them to perform anything you would be willing to do. What and how you communicate, it would build the relationship between others and you.



Ø      Situation


What you do in one situation does not always work in another one. You must consider your judgement to decide the best action for each situation. React quickly to change in the situation. When you get new information, make new decisions.



Ø      Leader


You should have an honest understanding of who you are, what you know, and what you can do. When a person considers you a leader, she/he does not think about your attributes, instead, she/he observes what you do so that she/he can know who you really are. How could it be:


ü      Challenge the process


ü      Inspire  a share vision


ü      Enable others to act


ü      Model the way



“A boss tells others what to do… a leader shows that it can be done.


A boss says GO!and a leader says LET’S GO!


   Heri Girsang de Poesis-IPA


2008  

Sabtu, 09 Juni 2007

What Indonesian Teenagers Should do to Face the Diffusion of Western Culture Which Indonesian Custom

Culture is a concern of people to carry out their needs, in order that their life will get better. It is not out of the questions that some people or institutions try to imitate ways, which can give them the perfection of life.

Almost all acts like sitting, standing, walking, lying down and lifestyle are the examples of how we ascertain of our choices or decisions about western culture.


I would say that these are caused by some factors, like:


1. Teenagers need new things, and eastern culture like that of Indonesian doesn’t have these new things. Teenagers, especially women, for example, try to imitate the ways of how western people dress up.


DOMITILLA CUBICULUM PARAT*

" Domitilla! Domitilla! Ubi es? Clamavit Marcia. Marcia anus erat.

" In horto sum, Marcia, quid vis? Respondit Domitilla. " Fessa sum, quod diu laboravi."


"Necesse est nobis cubiculum parare," inquit Marcia "Domina nobis hoc mandavit, qoud familiarem expectat."


" Eheu! Semper laboro. Est mihi nulla quies", inquit Domitilla.


" Puella ignavissima es", inquit Marcia. "Domina ipsa me ad te misit. Necesse est tibi cubiculum verrere. Necesse est mihi pavimentum lavare. Curre ad culinam! Quaere scopes!" Domitilla ex horto discessit et ad culinam lente ambulabat. Irata erat, quod cubiculum verrere nolebat. " Ego ornatrix sum", inquit. "Nos ornatrices nihil sordidum facinus. Non decorum est ornatricibus cubiculum verrere. Subito Domitilla consilium cepit et ad culinam quam celerrime festinavit. Simulac culinam intravit, lacrimis se tradidit. Volubilis commotus, ‘mea cokumba’, inquit,’cur lacrimas?’ ‘Lacrimo quod miseriima sum’, ancilla ei respondit. ‘Ego per totum diem laboravi. Quam fessa sum! Nunc necesse est mihi cubiculum parare. Ego non diutius laborare possum.’ ‘Mea columba, noli lacrimare!’ inquit Volubilis. ‘Ego tibi cubiculum parare possum.’ ‘Volubilis! Quam benignus es!’ Susurravit ancilla. Coquus cum ancilla ad cubiculum revenit. Diligenter laboravit et cubiculum fecit purum. Ancillla laeta dixit’. ‘Meum mei! Meum corculum!’ et coquo osculum dedit. Coquus erubescens ad culinam revenit.


Anus: Old woman; Nihil sordidum: No dirty jobs; Quid vis?: What do you want? Lacrimis se tradidit: Burst into tears; Necesse: Necessary; Commotus: Troubled, concerned; Hoc mandavit: Has given this order; Misserima: Very miserable, sad; Familiarem: Relation; Non diutius: No longer; Quies: Peace and quiet; Noli lacrimare: Don’t cry; Ignavissima: Bone idle; Susurravit: Whispered; Domina ipsa: The mistress herself; Purum: Clean, spotless; Verrere: Sweep; Mel: Honey; Lavare: Wash; Corculum: Sweettheart; Scopas: Broom; Osculum: Kiss; Lente: Slowly; Erubescens: Blushing

* Dikutip dari ‘Apud Salvium’, Cambridge Latin Course, Unit II Stage 14, hal. 6-7.

Buk! Bak! Bok!

CERPEN

Siang itu Bukor sedang asyik mengelus-elus perutnya sambil membayangkan enaknya tidur siang di domus (baca: kamar tidur). Tiba-tiba tangan kurus, kecil, kering menyambar cepat lehernya yang laksana timbunan gunung lemak itu. Pandangan bernafsu dengan mata yang seakan-akan hendak menelannya membuatnya takut setengah mati. "Bukorrr…," kata suara itu. "Tidak…," balas Bukor. "Ha… ha…ha…," suara tawa itu semakin keras. "Jangan…!" teriak Bukor lagi. "Ha…ha…ha…," suara tawa itu semakin keras. "Aku masih muda… JANGAN…!" teriak Bukor histeris bagai Tora Sudiro saat melihat Aming pakai bikini (red). "Ya…ha…ha…hei…JANGAN LARI DARI TUGAS. SEKARANG GILIRAN KITA MEMBERI MAKAN BABI!" Kejadian kemudian membuat seluruh penunggu Seminari (seminaris, red) yang sedang belepotan sabun berbalut kutang terharu dan tersentuh ketika Baker yang kurus menyeret-nyeret kaki Bukor yang meronta-ronta dan berteriak histeris, "AVE MARIA… GRATIA PLENA…"


MENGAKTUALISASIKAN DIRI

Seorang filsuf Yunani berkata, "Pengetahuan dan pengetahuan dengan tindakan akan mengaktualisasikan diri kita". Banyak orang yang berpandangan bahwa hidup ini perlu bersaing, dan untuk itu kita butuh perjuangan dan niat yang kuat untuk mencapai niat kita tersebut.

Beraktualisasi berarti membuat diri kita betul-betul menjadi sebenarnya. Untuk menempuh kepribadian yang sebenarnya kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang pribadi kita. Di sini kita akan diajak ke beberapa sub sebagai berikut :




A. Kepribadian



Kita hendaknya terlebih dahulu melihat dan memahami kepribadian kita. Apakah kita seorang pemaaf, pemarah atau yang lain-lain. Kita janganlah memandang diri kita sanggup untuk suatu hal yang sebenarnya tidak cocok. Cobalah untuk memahami apa yang lebih cocok untuk Anda.

B. Bakat




Kurang berbakat tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang bodoh. Jangan anda berkata, "saya mati bakat." Tidak ada kata tidak mampu seperti kata Einstein, "otak kita memiliki segalanya, tinggal kita bagaimana kita tergerak mau mencarinya." Jadi, jangan sia-siakan dirimu dengan keadaan yang memojokkanmu. Memang banyak orang yang multi bakat, namun bila kita tidak sanggup seperti mereka usaha-kan salah satu menjadi milikmu.




C. Tingkat Kreatifitas




Jangan sok pintar, sok jago, atau lain-lain. Jika kita tidak punya sesuatu yang dipandang berharga, kita bisa saja pilih bentuk pekerjaan yang diminati, namun sudahkah anda mengusahakan sesuatu itu menjadi milikmu atau menjadi suatu yang bermakna dalam hidupmu. Janganlah sok bisa atau sok mampu jika kita tak dapat melakukannya. Kita jangan terlampau berpikir menjadi orang-orang hebat dengan angan-angan yang melambung tinggi, yang akan mengakibatkan kita terjatuh dalam kesengsaraan. Suatu hal akan dipandang besar jika kita pintar membuat sensasi / ide-ide yang mutakhir terhadap barang itu.


Jadi, kita tidak akan dicap orang lagi sebagai orang yang bodoh, mati bakat, tak berpotensi. Melalui ketiga faktor tersebut kita akan dapat mencapai apa yang kita cita-citakan. Untuk itu, kita dalam mengambil sebuah peker-jaan atau memilih suatu karier semestinya memperhatikan hal-hal di bawah ini:


a. Pilihlah apa yang sesuai dengan pribadi Anda


b. Pikirkan konsekuensi dari pekerjaan tersebut, keuntungan lebih besar atau kerugian yang lebih besar


c. Pelajarilah pekerjaan itu dan cobalah memberikan suatu ide yang menunjang pekerjaan tersebut


d. Tekuni dan bersabarlah


e. Untuk memperoleh hasil yang lebih, buatlah kreatifitas sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.


Hal-hal di atas akan membantu Anda untuk mengaktualisasikan diri Anda. Percayalah jikalau Anda sudah mengaktualisasikan diri Anda, Anda akan dipandang sebagai orang yang paten. Seperti sebuah papan tulis, jika kita menuliskan sesuatu yang kurang penting, maka orang akan melihatnya kurang baik dan begitu sebaliknya.


Oleh: Marganda Purba, Syntaxis-IPS 2006/2007

BUAT AYAH

PERCIKAN PENGALAMAN


Ketika aku menapaki panggilanku, banyak hambatan-hambatan yang besar. Langkah demi langkah kakiku kuangkat menuju titik hidupku.


Diwaktu masih kecil aku tetap dirundung malang yang begitu menyedihkan hingga aku terlarut dalam mimpiku yang sedih. Aku menangis ketika saya akan meminta uang kepada ibuku untuk uang sekolah. Ibu berkata, "sama ayahmu saja kamu minta!". Namun ayah tetap hampa dan tak berkutik karena dia telah menjudikannya. Air mata pun berlinang ketika ayah dan ibu saya bertengkar di rumah karena saya dan adik saya yang tak mau disuruh bekerja.


Memang kami tak mau bekerja karena kami berpikir, ini semua untuk ayahku. Raut muka ibuku yang yang sangat sadis membuatku bangun dari tidur. 

DEMI PANGGILAN…SEMUA KITA DIPANGGIL UNTUK….

SAJIAN UTAMA


Suka duka bersama seminaris adalah gelombang hidup yang harus dilalui. Sebagai pendamping, dalam hal ini guru, pasti sedikit banyak mengalami hal di atas. Bersama seminaris, sejuta harapan kita patri di pundak mereka. Sebagai seorang dewasa, kita bergandengan tangan dengan mereka menuju suatu panggilan. Apa panggilan mereka, sebagai guru, imam, atau….? Sebagai pendidik kaum muda, apa sebenarnya yang perlu kita lakukan, bagaimana dan mengapa? Sejumlah pertanyaan tak akan habis-habisnya hadir. Seminaris telah mengalami pasang surut, ada maju mundurnya. Pada dasarnya kedewasaan yang kita tuntut dari mereka secara utuh adalah merupakan proses berkesinambungan, tapi bagaimana kita membangun mereka secara utuh agar tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, pribadi yang menunjukkan suatu sikap yang konsisten terhadap segala tindakannya, keputusannya. Bagaimana seminaris itu berani mengambil resiko akan segala keputusannya, bagaimana mereka menempatkan diri di tengah badai gelombang hidup terhadap cita-cita dan panggilan mereka. Dari pengalaman bersama seminaris, tahap demi tahap, aneka ragam ‘uneg-uneg’ biasa kita dengar. Secara umum, seminaris masih didominasi oleh emosi dalam memutuskan suatu panggilan. Keputusan seminaris belum atas pertimbangan yang cukup matang. Seminaris cenderung pada keputusan apa adanya dan ikut pada arus teman. 

PENDIDIKAN DAN PEMBINAAN SEMINARIS KE DEPAN

RENUNGAN

Seminari Menengah dalam Sejarah Gereja

Konsili Trente dan Vatikan boleh dianggap sebagai konsili yang paling menentukan sejarah perjalanan Gereja Katolik Roma. Konsili Trente yang sebenarnya diadakan untuk mengantisipasi dan membahas gerakan Reformasi Protestan justru memutuskan banyak hal dalam bidang ajaran dan tata tertib hidup menggereja yang tidak diakui para reformator. Salah satu ajaran hakiki Gereja Katolik yang tidak diakui oleh Protestan ialah ajaran tentang sakramen Imamat. Imamat dalam Gereja Katolik tentu berkaitan dengan pembinaan sehingga seseorang pantas mendirii imamat tersebut. Seminari berada di tengah Gereja justru ada membahas persoalan imamat.


Pemahaman Konsili tentang Seminari tidak dapat dipisahkan dari ajarannya tentang imamat. Menyadari begitu penting peran imam dalam Gereja, maka perlu suatu displin, program dan langkah yang jelas bukan hanya dalam cara hidup imam tetapi juga dalam formasi atau pendidikan calon-calon imam. Dengan tepat bisa dikatakan bahwa Konsili Trente telah mereformasi pendidikan calon imam dengan mengeluarkan satu dekrit khusus tentang itu: De Reformatione yang disahkan pada tanggal 15 Juli 1563.


Konsili Trente merupakan konsili pertama yang mengaturkan untuk seluruh Gereja Katolik bahwa pendidikan imam harus melalui Seminari. Konsili melihat pentingnya kesatuan dalam hal ini; sekaligus diharapkan bahwa pembaharuan akan menghasilkan imam-imam yang tangguh dalam menghadapi dunia yang semakin bobrok dan gerakan para bidaah dan reformator. Seluruh isi dekrit tentang Seminari dalam konsili didasarkan pada upaya melindungi dan menjaga calon-calon yang masih sangat muda dari ancaman dunia dan para reformator. Oleh karena itu, para calon diisolasi dari kedua jenis ancaman itu, dilindungi dan dibentengi dalam Gereja. Dengan metode ini diharapkan bahwa calon-calon imam ini akan terbebas dari pengaruh roh duniawi dan reformator. Para calon-calon imam diharapkan menjadi manusia yang kudus, suci dan mempunyai pikiran yang jernih dari segala macam ajaran palsu sebagai seorang pejabat Gereja. Maka dengan jelas, Seminari (baik Seminari Tinggi maupun Seminari Menengah) dibentuk dalam kerangka untuk mendidik seseorang yang bercita-cita menjadi imam.


Sudah sejak dulu disadari bahwa bibit panggilan sering sudah ada dan tampak pada anak yang masih sangat muda. Sudah sejak lama (Perjanjian Lama – Kitab Samuel) seorang anak yang dipanggil dipisahkan dari orang-tuanya untuk dididik menjadi pelayan di tempat yang kudus. Pemisahan ini bertujuan untuk memupuk dan mematangkan panggilan yang sudah ada.


Yesus Kristus adalah model untuk setiap Seminaris. Dia yang adalah Allah diutus ke dunia untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia dengan mewartakan Kerajaan Allah. Sebelum melaksanakan misi luhur tersebut Yesus menjalani masa persiapan/pendidikan khusus. Sejenis Seminari: tinggal dan hidup secara tersembunyi di rumah sederhana di Nasareth. Ia mempersiapkan diri dalam doa dan pekerjaan di bawah bimbingan Allah dan orang-tuanya. Di bawah bimbingan Joseph yang penuh cinta dan kebapakan, dan kekudusan, kelembutan serta keibuan Maria, "Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Luk 2:52).


Seminari menengah harus mengarahkan dan menolong calon yang masih sangat muda untuk memahami pentingnya panggilan melalui pengalaman pribadi, dan untuk sampai pada pilihan bebas memeluk cara hidup khusus ini atau tidak. Seminari Menengah bukan terutama tempat di mana calon-calon mendapat kepastian akan panggilannya, tetapi lebih sebagai tempat untuk mempelajari tanda-tanda panggilan yang sebenarnya dengan bantuan Pembina.




Masa Depan Seminari Menengah Christus Sacerdos




Optatam Totius artikel 3, salah satu dokumen Gereja yang berbicara tentang Seminari Menengah menyatakan: Di Seminari-seminari menengah, yang didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan, para seminaris hendaknya melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Hendaknya mereka di bawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dengan kerjasama para orang-tua yang sangat membantu, menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai sepenuhnya dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Sementara itu, hendaklah diperhatikan juga pengalaman-pengalaman manusiawi secukupnya serta hubungan biasa dengan keluarga mereka. Kecuali itu semuanya, yang selanjutnya dalam dekrit ini ditetapkan tentang Seminari Tinggi, hendaknya-sejauh cocok untuk tujuan maupun metode pendidikan di Seminari Menengah-disesuaikan dengannya pula. Studi yang harus ditempuh oleh para seminaris harus diatur sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa dirugikan dapat melanjutkannya ke tempat lain, sekiranya kemudian memilih status hidup yang lain.


Dari paparan dekrit Optatam Totius artikel 3 ini jelas terungkap bahwa hendaknya para seminaris, unggul dalam beberapa hal yakni: unggul dalam bidang intelektual, unggul dalam emosional dan unggul dalam hidup religius. Seminari Menengah Christus Sacerdos menjawab harapan Gereja di atas dalam seluruh program pembinaan dan pendidikan yang telah dilaksanakan selama ini dalam modus operandi-formation di Seminari Menengah.


Untuk menjawab isi Optatam Totius tersebut, tanggal 6-8 Pebruari 2007, Seminari Menengah menyelenggarakan Lokakarya yang khusus menggeluti arah pendidikan dan pembinaan seminaris ke depan. Dalam pergumulan ide selama 3 hari itu, ditetapkanlah arah pendidikan dan pembinaan Seminari Menengah Christus Sacerdos masa depan. Arah ini dituangkan dalam visi dan misi Seminari Menengah ke depan yang berbunyi sebagai berikut:




Visi




Seminari Menengah adalah wadah pembinaan orang-orang muda yang tampak memiliki bibit panggilan menjadi imam, untuk dibimbing menjadi pribadi yang seimbang dan unggul di bidang jasmani dan rohani, emosional dan intelektual, sehingga memiliki dasar yang kuat untuk menjawab panggilan hidupnya.




Misi




1. Meningkatkan mutu pendidikan Seminari Menengah sebagai wadah pembinaan orang-orang muda yang tampak memiliki bibit panggilan imam.


2. Membangun wawasan keunggulan sebagai etos Seminari Menengah.


3. Menciptakan dan mengembangkan kondisi yang mendukung keseimbangan unsur-unsur kepribadian.


4. Mengembangkan kegiatan rohani, kurikuler, ekstrakurikuler, lomba dan kegiatan sekolah yang relevan, konstekstual dan bermutu.


Muatan visi dan misi ini kiranya menekankan empat keunggulan seorang seminaris setelah mengalami pembinaan dalam formation Seminari Menengah yakni unggul dalam intelektual, unggul dalam emosional, unggul dalam hidup religius dan unggul dalam kepribadian.




Seminaris kiranya unggul secara Intelektual




Unggul secara intelektual maksudnya bahwa seorang seminaris mempunyai kelebihan yang sungguh signifikan dalam kemampuan intelektual bila dibandingkan dengan anak muda seusianya yang non seminaris. Seminaris hendaknya mampu menelaah, menganalisa suatu masalah. Seminaris dengan kemampuan intelektual yang mumpuni mempunyai daya pikir yang tajam, mampu belajar otodidak dll. Penyelenggara pembinaan dan pendidikan Seminari Menengah sekarang ini sungguh berupaya agar para seminaris dapat mencapai cita-cita ini. Saat ini guru-guru diberi kesempatan yang sungguh luas untuk memperdalam dan memperluas ilmu yang menjadi keahliaannya dengan mengikuti berbagai kursus, studi banding, membeli buku-buku, upgrading. Para guru dibekali bagaimana cara mengajar yang aktif dengan mendatangkan ahli-ahli pendidikan. Kurikulum diperbaharui. Guru-guru harus mampu menyusun satuan mata pelajaran sendiri. Guru-guru dituntut untuk menguasai IT (informasi dan tehknologi). Mendatangkan tenaga guru dari luar negeri bagi para murid. Seminari Menengah menyediakan fasilitas yang sangat memadai; perpustakaan buku yang cukup lengkap, laboratorium bahasa dan kimia yang cukup memadai, komputer dan internet. Guru yang kreatif akan memacu siswa juga kreatif. Semuanya ini diharapkan mampu menciptakan seorang siswa Seminari yang unggul dalam intelektual.




Seminaris harus unggul dalam emosional




Keunggulan siswa dalam emosional akan menunjang keberhasilan siswa dalam belajar dan hidup. Unggul secara emosional maksudnya bahwa siswa mampu untuk mengatur disposisi batin, siswa mampu untuk bekerjasama. Siswa yang unggul secara emosional akan mampu berdiskusi, akan mampu menerima dan menghidupi kritik, akan mempunyai daya juang yang tinggi dan pantang putus asa. Siswa yang matang secara emosional akan mampu hidup menderita, hidup dalam suasana sukacita.




Seminaris harus unggul dalam hidup religius




Hal ini memang harus menjadi satu keunggulan seminaris yang diharapkan menjadi pemimpin umat kelak. Maka dalam hal ini, seminaris mempunyai keniscayaan mempunyai nilai lebih dari yang lain. Untuk mendukung keunggulan ini, Seminari Menengah memfasilitasi siswa dengan berbagai macam kegiatan. Misa setiap hari, lectio brevis satu kali dalam seminggu, bacaan rohani, retret dan rekoleksi, latihan meditasi, kerasulan anak sekolah minggu dan doa lingkungan, pengakuan dosa, berkunjung ke tempat-tempat wisata rohani, menulis refleksi harian. Melalui seluruh kegiatan ini, siswa diharapkan akan mempunyai rasa religius yang tinggi. Keunggulan ini tampak dalam rasa empati yang tinggi, pengorbanan terhadap orang lain, kemauan untuk saling meneguhkan dalam panggilan, keterbukaan untuk berbagi hidup, kemampuan untuk mensyukuri, sikap ikut serta menderita bersama teman.


Ketiga dimensi keunggulan ini harus seimbang dalam hidup Seminaris sehingga Seminaris akhirnya unggul dalam kepribadian. Inilah mimpi Seminari Menengah ke depan!!!! Semoga cita-cita ini semua tidak hanya mimpi tetapi menjadi sebuah kenyataan. Dengan ini diharapkan Seminaris mampu menjadi pemimpin yang unggul, visioner, pemimpin yang saleh di masa depan. Gereja pun akan semakin jaya bila pemimpinnya dapat diandalkan!


 


Sdr. Venantius Qwei, Staff Seminari Menengah

Sabtu, 21 April 2007

KREATIVITAS

Banyak hal yang bisa dikatakan bila berbicara tentang kreativitas. Kita bisa saja menyoroti bidang-bidang tertentu dalam kreativitas. Kita juga bisa menyoroti pribadi/kelompok yang berkreativitas. Kita juga bisa membicarakan tempat atau lokasi yang dalam kaitan dengan kreativitas yang sesuai, dan lain sebagainya. Singkatnya, pembicaraan tentang kreativitas, bisa menjadi begitu luas, sehingga saya harus membatasinya dalam cakupan faktor-faktor pendukung munculnya kreativitas dalam diri seseorang. Saya melihat bahwa kreativitas diharapkan selalu membuahkan hasil-hasil yang positif dalam mengembangkan yang lain. Itulah yang seharusnya kita lihat dalam suatu kreativitas, yakni: kelahiran sesuatu yang baik menuju kepada pembaharuan yang mengembangkan. Semangat inilah yang ingin saya bagikan kepada para pembaca yang budiman.

KREATIFITAS BERSUMBER DARI ALLAH

 KREATIFITAS BERSUMBER DARI ALLAH


(Refleksi atas kreatifitas Allah dalam menciptakan manusia)


 Bulan September yang lalu saya diminta oleh redaksi LEMBAGA untuk membuat renungan tentang kreatifitas dalam pengertian Biblis. Aku sedikit bingung untuk menguraikan tema ini dengan jelas sesuai dengan permintaan mereka. Alasannya karena dalam Kitab Suci tidak ada kata yang dengan tepat dan jelas menguraikan tentang kreatitifitas. Meskipun demikian di dalam Kitab Suci kita bisa menemukan bagaimana Allah dengan kreatif-Nya menciptakan segala sesuatu di dunia ini termasuk manusia. Untuk memahami tema ini kita mesti mengetahui apa sebenarnya kreatifitas itu.


Kreatifitas berasal dari kata dasar kreatif yang memiliki akar kata to create yang artinya mencipta, menghasilkan. Jadi kreatifitas adalah kemampuan manusia untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang positif dan berguna bagi dirinya dan juga bagi orang lain. Menurut David Campbell kreatifitas merupakan suatu ide atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif, useful (berdayaguna) dan dapat dimengerti (understandable). Mempersoalkan arti dan manfaat kreatifitas bagai mempertanyakan arti makanan bagi makhluk hidup atau air bagi tanaman. Sulit membayangkan terciptanya sebuah karya seni tanpa kreatifitas. Jadi makna kata kreatif sesungguhnya hanya berkisar pada persoalan mencipta atau menghasilkan sesuatu.


Jumat, 20 April 2007

SEMINARI MENENGAH…

the Future of the Church of Medan



July 17, 2006 was my first day in Seminari Menengah. It was a day of expectations and at the same time of fear for the teaching job is not easy; and to teach the young Seminarians, who, if not all of them, some of them might become the future "shepherds" of the Church? Well, as I often remind myself; a great privilege and a responsibility.


For more than two months now that I am sharing my time as a teacher to the young Seminarians and also to the Faculty members of the Seminary, I think I am enriched with many new experiences. One of my best experiences is the felling to be at home everybody. I never felt to be a stranger even if I can’t communicate well in Indonesian language; neither it’s a barrier nor a difficulty to take a step for interpersonal relationship. The Seminary offers much opportunity for me to learn the culture, custom, and language of the people. It provides me somehow of what is important in dealing with others, particularly to people with lots of differences. My teaching experience also helps to widen more and more my way of judging and of looking persons and events.


Rabu, 07 Maret 2007

REMAJA YANG DEWASA

Saya diminta oleh redaksi majalah ini untuk menulis tentang remaja yang dewasa. Karena saya tahu bahwa pembaca majalah ini kebanyakan para siswa seminari menengah, maka saya coba membuat tulisan ini dalam konteks pendidikan di seminari menengah pula. Isi tulisan ini dibuka dengan membahas tujuan pendidikan seminari menengah, dan kemudian memaparkan ciri-ciri remaja yang dewasa dalam arti psikologis dan kristiani, yang menjadi tujuan pendidikan di seminari menengah.

Pendidikan Seminari Menengah

Ketika membela thesis saya yang berjudul ‘A Cross-cultural Comparison of the Motivations of Adolescents Entering Minor Seminary,’ salah seorang penguji meragukan perlunya mempertahankan lembaga pendidikan seminari menengah sebagai tempat pendidikan calon imam. Menurutnya, masa remaja (12-18) adalah masa pancaroba. Disebut masa pancaroba karena saat itu seorang anak mengalami perobahan besar secara fisik, cognitive, psiko-sosial, dan moral. Pada masa tersebut, mereka membutuhkan pendamping atau pembimbing yang bisa mengerti akan diri mereka. Pembimbing yang terbaik tentunya adalah orangtua mereka sendiri. Selanjutnya penguji saya itu juga berkata, mendidik seseorang menjadi calon imam secara dini bisa menghambat pertumbuhan aspek-aspek kepribadian lain yang sangat penting dimiliki, yakni otonomi, seksualitas, dan realisme. Bahkan penguji saya itu berkata, “We have priests whose feet do not touch the ground.”

MAJALAH ONLINE SURAT SMCS (EDISI AGUSTUS 2025)

MAJALAH ONLINE SURAT SMCS (EDISI AGUSTUS 2025) Link: https://online.fliphtml5.com/dlwuh/zgli/