Senin, 29 September 2008

CERPEN: DI SANA MEREKA MERASAKANNYA

DI SANA MEREKA MERASAKANNYA


 


Angin pagi yang sejuk dan terpaan bau-bauan yang segar dari rumput-rumput yang basah menyambut langkah Deva yang baru saja turun dari kamar tidurnya, ditambah suasana merdu burung pipit yang bersarang di pepohonan sekitar halaman asrama itu. Seperti biasanya, sebelum mandi Deva harus memulai senam sederhana dengan beberapa gerakan yang diciptakannya. Setelah cukup melenturkan yang semalaman kaku, barulah Deva bergegas ke kamar mandi.


            Dua tahun yang lalu, setelah Deva lulus dari SMP, ia memilih untuk tinggal di asrama melanjutkan masa pendidikannya di bangku SMA. Kini Deva telah memduduki dan melewati tahun kedua di asramanya dan juga di sekolahnya.


            Selesai bersiap diri dari kamar tidur, saatnya bagi seluruh isi asrama untuk menghadap ruang makan, tentunya untuk sarapan pagi. Selama acara makan berlangsung, tiba-tiba pikiran Deva melayang mencoba memutar kembali ucapan Dami dua hari yang lalu ketika mereka berkumpul bersama di ruang kelas.


            “Dev, kamu harus tegas dong dalam hal ini. Masa sih kita jadi disepelekan oleh anak-anak baru itu!” Dami berujar dengan nada emosi yang sedang menggelora dalam hatinya. Memang, emosinya tidak ditujukan kepada Deva, melainkan pada anak-anak baru yang sering membuat ulah di asrama. Antara Dami dan Deva memang telah terjalin hubungan persaudaraan, Dan bukan hanya mereka, tetapi seluruhnya yang bergabung dalam kelas II IPA. Sehingga segala tindakan yang akan dilakukan harus disetujui oleh semua personil kelas. Jika tidak, maka suatu tindakan tak mungkin terlaksana. Demikian juga halnya ketika Dami dan teman-teman selain Deva, mengusulkan akan memberikan pelajaran kepada anak-anak baru. Namun, jawaban Deva selalu bernada tidak setuju walaupun dikatakan secara halus.


            “Saat kita kelas satu dulu, banyak sekali tangan-tangan kasar yang melayang kepada kita. Kini ketika kita berhak untuk melakukannya, malah tidak kita lakukan? Lagian sikap mereka itu sudah keterlaluan.” Demikianlah selalu ungkapan Dami untuk membujuk sahabatnya sambil menunjuk kepalanya yang pernah bengkak akibat abang kelas, namun usahanya masih terhalang. Sambil meneguk the manis yang tersedia, pikiran Deva selalu dibayangi oleh permohonan-permohonan teman-temannya. Apalagi setelah mengingat bahwa nanti malam terakhir kalinya pertemuan mereka untuk membicarakan hal itu.


            Jam pelajaran terakhir tiba, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi teman-teman bilang bahwa bapak guru tidak datang, karena kebetulan ada urusan keluarga.


            “Cuti hamil kali…” ujar Toni seenak perutnya. Toni memang anak yang paling lucu di kelas. Hanya melihat wajahnya saja, orang telah terlebih dahulu terpingkal-pingkal apalagi mendengar ucapannya. Tetapi di sudut ruangan sana, Deva tidak menghiraukan lelucon apapun. Deva mencoba membuka novelnya yang akan diresensinya untuk tugas Bahasa Indonesia. Sekalipun pandangan Deva tertuju pada kumpulan kertas yang penuh misteri itu, akan tetapi, pikiran utamanya sudah melayang jauh kemasa lalunya.


            Dijangkaunya putaran pita rekaman memorinya untuk melihat masa-masa lalu dengan musuh bebuyutannya, tetapi sangat disayanginya yang tak lain adalah ibu tirinya. Ketika Deva berumur 7 tahun, sang ibu tercinta dipanggil menghadap sang Ilahi. ± 8 bulan setelah kejadian itu, Deva dan kedua orang adiknya Deo dan Dirley berada di bawah asuhan seorang ibu tiri.


            Orang banyak berkata bahwa seorang anak yang berada di bawah asuhan seorang ibu tiri, pada umumnya akan membenci ibu tiri tersebut akibat sikapnya yang semena-mena. Akan tetapi lain halnya dengan Deva. Walaupun selalu diperlakukan secara kasar oleh ibu tiri, namun Deva selalu bersikap ramah terhadap ibu tirinya. Sikap itu juga selalu diterapkannya kepada Deo dan Dirley. Sehingga secara bersama-sama mereka selalu mengasihi dan bersikap ramah terhadap ibu tiri mereka.


            Bila dibayang-bayangkan, kehidupan Deva tak jauh berbeda dengan kehidupan yang dialami oleh Dami. Mereka sama-sama diasuh oleh tangan-tangan kasar. Akan tetapi mengapa antara prinsip Dami dan Deva jauh berbeda? Seharusnya Deva mendukung siasat teman-temannya untuk mengadakan kekerasan pada adik-adik kelas. Bahkan 1½ tahun setelah hubungan rumah tangga ayah dan ibu tirinya terjalin, ayahnya seakan telah berubah sifat. Yang dulunya bersikat lembut terhadap Deva dan adik-adiknya, tetapi kini sikatnya telah berubah. Tidak terdapat lagi unsur-unsur kelembutan dalam hati sang ayah. Sikat itu kini telah diganti dengan kekerasan kepalan tangan yang penuh dengan urat-urat otot dan tentunya pelampiasannya adalah Deva dan adik-adiknya.


            Studi malam telah usai ditandai dengan dentang nyaring lonceng. Kebiasaan kelas Deva untuk mengadakan perkumpulan kelas tepat ketika studi malam berakhir. Jelas bagi kelas II IPA bahwa malam inilah terakhir kalinya pertemuan diadakan untuk membahas tentang kelakuan-kelakuan akan-anak baru ataupun adik kelasnya. Semuanya memberikan beberapa pendapat mengenai hal itu.


            “Kalau aku nanti, jika siasat ini disetujui, sudah ada 3 anak yang kuincar,” demikian terdengar lagi kicauan Toni. Sudah barang tentu ketiga orang anak ini diincar Toni, sebab mereka lain daripada yang lain. Kulit mereka menyerupai kulit Negro. Hingga Toni menyebut mereka “Trio Negro.”


            Deva hanya bisa mengumbar senyum setelah mendengar tawa canda temannya. Namun ketika Deva mulai merangkai kata-katanya untuk membentuk suatu kalimat semuanya dalam keadaan hening.


            “Teman-temanku aku, aku bisa mengerti semua perasaan kalian. Aku dapat merasakan apa yang kalian inginkan sekarang. Selama kurang lebih 1 tahun kita berada di bawah penindasan abang-abang kita di asrama ini dan kini kita bersiasat untuk membalaa\s dendam bukan? Walaupun banyak alasan yang dapat diputarbalikan dalam hal ini, tetapi semuanya menurutku sama saja, hanya menunjukan kepada mereka bahwa kita pendendam. Situasi hidupku dengan Dami précis sama dan kita semua mengetahui hal itu. seharusnya aku mendukung ide Dami bukan? Namun kesamaan itu tidak dapat dialihkan menjadi kesamaan di prinsip kita. Maaf jika aku telah mengecewakan teman-temanku di sini. Jika kalian ingin meneruskannya, silahkan. Dengan senang hati, aku tidak akan pernah menghalanginya dan tidak berhak tentunya dalam hal itu. Tetapi beberapa hal perlu kuingatkan kepada teman-teman, apakah kita mempunyai adik? Apakah mereka akan tetap bersekolah, layaknya kita sekarang? Apakah teman-teman menyayangi mereka? Dan bagaimanakah perasaan teman-teman jika sang adik tercinta diperlakukan lebih keji dari yang pernah kita lakukan terhadap orang lain? Demikian halnya denganku saat ini. Jika aku sampai menyentuh tubuh adik-adik kelas dengan kasar, sama saja aku telah melakukannya kepada adik-adikku sendiri di sana. Jika aku melihat satu diantara adik-adik kelas kita menerima suatu konsekuensi, adik-adikku sendirilah yang menjadi sosok penerima di dalam bayanganku. Mungkin tidak semudah ini untuk menjelaskan kepada teman-teman saat ini. Bagiku cukuplah di tempat itu mereka merasakannya, aku tidak ingin melihat mereka mendapat yang lebih dari itu di tempat lain.”


            Setelah mendengar penjelasan Deva, teman-teman banyak yang keberatan dengan segala unek-unek, terutama Anwar dan Toni. Toni yang selalu melucu kini sungguh serius menanggapi ujaran Deva. Anwar merupakan salah satu dari mereka yang mempunyai tubuh besar dan tinggi, sehingga teman-teman sering memanggilnya dengan julukan “Bomber.” Selama menjalani tahun pertama di sekolah ini, dapat dikatakan Anwar-lah yang paling sering menerima hukuman yang sungguh keji.


            “Maaf, bagiku itu semua sama. Mau dibilang pendendam, pengecut atau apapun itu, tidak masalah bagiku. Bagiku sekali berniat, harus dijalankan. Tidak mungkin menyiakan donor darah yang telah kusumbangkan kepada abang-abang kelas selama ini.”


            Demikian ujaran Anwar setelah mendengar penjelasan Deva. Memang benar apa yang dikatakan Anwar. Setiap hukuman yang ia terima dulu selalu diikuti aliran darah, sehingga kini Anwar sangat bersungguh-sungguh untuk membalaskan dendamnya.


            “Sorry Dev, saya rasa ini menyangkut harga diri. Adik-adik kelas akan semakin meraja rela karena kita dianggap telah bertekuk lutut pada mereka.” Toni berujar demikian dengan serius.


            “Teman-teman, aku menganggap dan menyimpulkan hal ini menyangkut perasaan kita. Ada tidaknya perasaan di dalam diri kita di situ jugalah ketergantungan hal ini, tanpa mempersalahkan pendapat Toni. Dan bagi Anwar, sekali lagi, aku tidak punya hak untuk menghalangi niat Anda. Namun aku minta maaf jika aku sendiri tidak bergabung ataupun mengecewakan teman-temanku dalam hal ini.”


            Kalimat terakhir dalam penjelasan Deva, membawanya hingga ke peraduan malam terang. Di satu bintang yang ditatapnya ia berseru akan hadirnya perasaan kasih dan sayang diantara sesamanya.


 


Marsonang Daud Situmorang


Probatorium C 2007-2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGUMUMAN HASIL TESTING MASUK SEMINARI MENENGAH CHRISTUS SACERDOS PEMATANGSIANTAR TAHUN 2024

Salam sejahtera bagi kita semuanya. Salam Sehat 🙏 Bapak/Ibu serta calon seminaris yang kami hormati. Berikut ini kami umumkan daftar pesert...