Cerpen
Usaplah Air Matamu Dengan Ujung Jubahku
Angin musim kemarau merontokkan
daun-daun cemara yang sudah kering. Suaranya mendesau-desau. Pojok halaman
Seminari St. Pertus terasa semakin lengang. Aula pun sudah sepi ditinggalkan
para tamu dan undangan serta kerabat para Diakon yang ditahbiskan hari itu. Ada
enam orang Diakon yang menerima tahbisan dari Bapa Uskup.
Primus
Sihotang, satu dari antara enam Diakon, baru saja melepas keluarganya di pintu
gerbang Seminari. Masih mengenakan alba,
ia langsung menuju pojok halaman. Di atas kursi panjang, Jesika sudah
menunggunya sedari tadi. Gadis itu pura-pura tidak melihat kedatangan lelaki
itu.
“Maaf,
harus menunggu lama.” Kata Primus, panggilan akrab diakon tadi. Jesika menoleh.
Ia mencoba tersenyum. Tetapi, senyumnya tampak hanya basa basi saja.
“Datang
sendiri? Ibu kok gak diajak?” Tanya Primus sambil duduk di samping gadis itu.
“Untuk
apa?” Tanya Cika, panggilan akrab gadi
itu.
“Ibumu
pernah berjanji untuk dating di hari bahagia ini.”
“Siapa
yang bahagia?” Tukas Cika cepat. Pertanyaan itu sepertinya sudah ia persiapkan
sejak lama. Ia simpan di dalam hatinya. Lalu, ia meletakkannya di ujung lidah.
Kini saat yang tepat untuk ia luncurkan, ibarat rudal Korea Utara yang siap
menghancurkan dunia kapan saja.
Primus
terhenyak. Ia tidak mengira akan ditusuk dengan pertanyaan itu. Siapa yang
bahagia?
“Ibu
pernah bercerita padaku. Sebenarnya ia punya harapan lain. Ia tidak akan pernah
datang kemari dalam peristiwa seperti ini. Sebab, Ibu selalu berharap peristiwa
ini tidak akan pernah terjadi!”
Primus
menghela nafas. Angin kemarau semakin kering. Rimbunnya pohon bugevill serta
cemara di depan mereka tidak mampu memberikan kesejukan. Celotehan
frater-frater lain dari kejauhan pun tidak ia hiraukan.
“Empat
tahun aku berharap, lalui semua ini sia-sia. Haruskah hari ini aku mengubur
harapan ini? Semudah itukah aku melakukannya? Rasanya sakit sekali.” Ucap Cika
dengan suara serak. Matanya sembab. Ia buru-buru mengambil tissue dan mengusap
air matanya yang hamper meleleh.
“Bukannya
saya sudah minta maaf berkali-kali? Haruskah aku mengulanginya lagi? Berapa
kali lagi aku harus mengucapkannya Cika?” Tanya Diakon Primus.
“Apakah
permintaan maaf bias langsung membunuh harapanku? Tidak adakah kata lain selain
per,imtaan maaf?” Tukas Cika cepat.
“Saya
harus katakana apa? Atau saya harus berbuat apa untuk menjelaskan semuanya
ini?” Hardik Diako Primus tak mau kalah.
“Bukankah
sejak awa; sudah kukatakan, jika harus memilih, maka jalan panggilan inilah
yang harus saya pilih. Sejak saya jadi putra altar, saya sudah bermimpi, suatu
saat nanti saya akan memimpin Ekaristi. Dan saat itu sudah dipelupuk mata.”
“Kau
egois, hanya keinginanmu sendiri yang kau utamakan!”
“Apakah
saya harus mengutamakan keinginan orang lain? Ini tidak realistis. Semua orang
pasti mengutamakan cita-citanya sendiri. Setelah terwujud, baru ia akan
membantu mewujudkan keinginan atau cita-cita orang lain. Hal iru wajar. Tidak
ada kaitannya dengan egoism seseorang.”
Tak
kuasa mendengar Primus, Cika menelan ludah. Rasanya pahit sekali. Baginya
kata-kata yang keluar dari lelaki disampingnya itu ibarat jamu terpahit yang
dipahsa untuk ia makan. Mau tidak mau harapannya untuk mengajak lelaki itu
hidup wajar sebagai seorang awam pupus sudah. Mimpi-mimpinya untuk duduk
bersama di pelaminan sebagai pasangan yang berbahagia kandas. Semua jalan untuk
dirinya sepertinya sudah tertutup rapat-rapat. Semua pintu sudah digembok dan
diberi palang. Ia tidak mungkin lagi membuka pintu hati lelaki itu dan tinggal
di dalam.
Angin
kemarau yang semakin merontokkan daun-daun cemara kembali bertiup. Seminari
benar-benar sudah sepi. Begitu juga lorong-lorong yang menghubungkan
kamar-kamar penghuninya. Tidak ada lagi terdengar sayup-sayup celotehan para
frater.
Cika
benar-benar menangis. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Kalau boleh,
ia mungkin akan menjerit sejuat-kuatnya untuk melepas beban di hati. Tiba-tiba,
muncul kenangan dua tahun lalu di benaknya. Ketika itu, Cika berlatih di aula
Seminari bersama teman-teman sefakultasnya. Mereka akan mengadakan pementasan
bersama para frater dengan lakon Romeo dan Juliet. Kebetulan, Jesika dipilih
menjadi Juliet dan Primus dipilih sebagai Romeo.
Ah…..
Betapa asiknya orang dimabuk cinta. Betapa bangganya mendapat pujian dan
sanjungan dari lelaki yang dicintai. Meski hal itu hanya sebuah lakon, namun
jauh di lubuk hatinya Cika sungguh menikmati. Berminggu-minggu berlatih,
berminggu-minggu pula ia mencoba membangun batu pondasi. Di atas pondasi itulah
ia ingin membangun rumah cinta. Tempat ia dan seisi rumahnya menghabiskan waktu
penuh canda ria. Bersama lelaki yang ia cintai, bersama anak-anak yang mereka
sayangi, rumah cinta itu membunuh ular jelmaan setan untuk mempertahankan rumah
cinta itu jika sewaktu-waktu hewan jelata itu dating menggodanya.
Tetapi,
fondasi dan rumag cinta itu hancur dan runtuh hari ini. Batu dan gentengnya
berserakan dimana-mana. Ternyata fondasi itu ia bangun di atas pasir mimpi.
“Apa
yang harus kulakukan sekarang?” Tanya Cika dengan suara serak.
“Hari-harimu
masih panjang. Duniamu masih terbentang luas. Kamu masih bias membangun
mimpi-mimpi indah. Kamu cantik dan cerdas. Aku yakin banyak pemuda yamg
mencintaimu lebih dari aku.” Hibur Primus.
“Percayalah,
kau dan keluargamu nanti akan menjadi bagian doa-doa pribadiku. Bila perlu aku
akan dating untuk memberkati pernikahanmu nanti Cika. Percayalah, segala
sesuatu yang manis tak akan saya buang dan lupakan, meski saya tidah bias
memiliki dan melihatmu setiap hari.”
“Frater.”
Pekik Jesika akhirnya. Ia tak bias lagi membendung air matanya. Gadis itu hanya
diam. Sebisa-bisanya Diakon Primus menahan diri agar tidak larut dalam pusaran
emosi Jesika.
“Ya
mwnangislah sepuas-puasnya Cika.” Kata Primus dengan suara parau.
“Sya
harap, imi adalah tangismu yang terakhir. Karena itu, usaplah air matamu dengan
ujung jubahku. Anggaplah itu sebagai tanda bahwa engkau akan menghapus
mimpi-mimpi indahmu akan diriku. Mimpikanlah diriku dalam posisi sekarang.
Mimpikan aku sebagai gembala umat.” Ucap Diakon Primus sembari mengelus rambut
gadis itu.
Cika
menoleh. Ia mengangguk. Tangannya dengan cepat menarik ujung alba itu. Dengan pelan ia mengusap air
mata miliknya.
“Terima
kasih frater. Sekarang aku merasa bahagia sekali. Sungguh aku tidak akan
melupakannya seumur hidup.”
Lalu
gadis itu menyahut tangan Diakon Primus. Ia cium tangan itu dengan rasa hormat.
Tanpa menoleh lagi Jesika meninggalkan Seminari. Sebuah taxi melaju lambat. Ia
pun menumpang taxi itu untuk pulang ke rumahnya.
Diakon
Primus kembali duduk di kursi panjang taman itu. Ia sangat merasa lega karena
cobaan terakhirnya telah ia lewati. Kini, dengan semangfat yang membara Diakon
Primus mempersiapkan diri untuk tahvisan imamat yang telah menunggunya pada
bulan Desember nanti.
*By:Primus K. Sihotang
Grammatica_IPS 2017-2018
SENYUM SAPA
SEDERHANA DI GERBANG MASUK
Ibu Sora tak pernah
berpikir bahwa ia akan menjadi seorang chef di sebuah restoran ternama di Jawa
Barat. Saat SMA, Ibu Sora selalu diejek temannya karena tidak tahu memasak.
Suatu hari saat SMA kelas 3,
teman-teman Ibu Sora berkunjung ke rumahnya. Saat itu, tidak ada makanan apapun
yang mau dibagikan. Karena itu, Ibu Sora berusaha memasak mie instan yang
kebetulan selalu tersedia di dapur apabila tidak ada makanan yang dimasak
ibunya. Saat teman-temannya asyik ngobrol di ruang tamu, dengan usaha yang
melebihi prajurit semut mengangkat makanan, Ibu Sora hampir selesai
menghidangkan mie instan tersebut. Namun Ibu Sora tidak mencicipi mie instan
itu sebelum ia memberi pada teman-temannya. Saat itu adalah saat perdana bagi
Ibu Sora memasak makanan. Orang yang selama ini memasak adalah ibunya. Dengan
rasa malu, Ibu Sora memberi makanan itu pada teman-temannya yang saat itu sudah
bosan menunggu Ibu Sora yang terlalu lama memasak. Namun, dengan senyum indah
Ibu Sora, rasa malu itu seakan-akan hilang saat memberi mie instan itu.
Sebelum menyantap hidangan, sebagai
umat beriman, terlebih dahulu mereka berdoa yang dipimpin oleh Rosa,teman
sebangkunya. Ketika doa selesai, mereka langsung menyantap mie instan itu.
Ketika suapan pertama masuk ke mulut teman-temannya, dengan penuh rasa
kecewa,mereka langsung memuntahkan mie instan itu tanpa menjaga perasaan Ibu
Sora. Senyum manis Ibu Sora yang tadinya dapat menutupi rasa malu, kini tidak
dapat dielakkan lagi. Ibu Sora harus menerima kenyataan itu. Sebab mulut
teman-temannya Ibu Sora seperti sedang diguyur hujan asam.
“Sor, kamu tak tahu masak, ya?”
tanya Rosa dengan nada mengejek.
“Ha, umur 17 tahun gak tahu masak?”
tanya Piya memanaskan suasana.
“Hahahahahaha” tawa kedua temannya
mengejek Sora.
Sora pun terdiam seperti paku yang
ditokok oleh palu yang tak dapat mengelak keluar.
***
Mengingat kejadian di masa SMA itu,
Ibu Sora selalu tersenyum manis dengan senyum yang tidak berubah. Apalagi
dengan profesinya sebagai chef di restoran ternama. Ibu Sora merasa sangat
bangga karena sesuatu yang membuat ia ditertawakan teman-temannya ternyata
tidak lagi bahan tertawaan, tetapi menjadi suatu kebanggaan yang luar biasa.
Sejak kecil, Ibu Sora dikenal
sebagai pribadi yang baik. Suka tersenyum dan suka menyapa. Tak heran jika
sampai umur 34 tahunm Ibu Sora sudah terbiasa dengan hal itu. Di umurnya yang
34 tahun, Ibu Sora hidup dengan suaminya Reza 36 tahun dan sepasan anak yaitu
Riyun dan Viola. Keluarga Ibu Sora dikenal warga setempat adalah keluarga yang
rukun, santun, peduli, dan ramah. Setiap di luar rumah, keluarga Ibu Sora
selalu menyapa orang yang mereka lihat atau jumpai.
Senyum sapa yang sangat melekat,
membuat keluarga Ibu Sora dipuji banyak orang, sebab zaman sekarang ini, jarang
dijumpai keluiarga seperti keluarga Ibu Sora. Selain itu, kedamaian pun selalu
menghiasi keluarga Ibu Sora.
***
Kring…kring…kring… Bunyi alunan yang
setiap pukul 04.45 WITA berbunyi adalah nasihat yang keras untuk memulai
pekerjaan seorang ibu rumah tangga. Senin pagi yang dingin menemani aktifitas
Ibu Sora memasak untuk sarapan pagi suami dan anaknya. Setiap pagi, aroma
masakan Ibu Sora selalu mengganggu tidur suami dan anak-anaknya. Selain aroma
yang wangi, kelezatan masakan Ibu Sora selalu dirindukan. Sehingga tak heran
kedua anaknya selalu membawa bekal ke sekolah.
Berhubung ini hari Senin, Riyun dan
Viola pergi lebih awal ke sekolah. Karena mereka tidak bisa makan pagi bersama
berhubung ada upacara di sekolah. Sebelum berangkat, Riyun dan Viola berdoa di
sebuah ruangan kecil di dekat kamar mereka. Ruangan itu juga selalu dipakai
oleh keluarga Ibu Sora untuk berdoa pada saat tertentu atau doa pribadi.
Selesai berdoa, Riyun dan Viola
langsung bergegas ke halaman rumah dimana ayah mereka telah menunggu. Riyun dan
Viola adalah anak yang baik, sopan, dan ramah seperti orang tua mereka. Maka
mereka tidak pernah lupa pamit. Keramahan yang selalu orang tua Riyun dan Viola
ajarkan tak pernah terlupakan dari benak mereka. Karenanya setiap berangkat
sekolah mereka selalu menyapa tetangga dengan senyum indah yang diturunkan ibu
mereka.
Ketika Pak Reza berangkat dengan
anaknya, Ibu Sora tersenyum senang melihat anaknya tumbuh dengan ajaran baik
mereka. Saat hendak memasak ke rumah, Ibu Lita tetangga ibu Sora berkata
“Syukur ya bu punya anak baik dan
ramah seperti Riyun dan Viola”
“Iya bu, saya sangat senang” jawab
Ibu Sora dengan senyum yang selalu menarik perhatian. Mendengar pujian ibu
Lita, Ibu Sora langsung berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah terindah
yang ia miliki.
Hari Senin adalah hari yang
menyenangkan bagi Ibu Sora, sebab khusus hari Senin, restoran tempat ia bekerja
hanya buka sampai pukul 19.00 WITA. Ibu Sora juga harus sudah tiba pukul 09.00
WITA. Setiap hari Ibu Sora selalu berangkat bersama dengan suaminya. Kebetulan
tempat kerja Pak Reza searah dengan tempak kerja Ibu Sora. Ibu Sora juga
dikenal dengan ketepatan waktu yang selalu ia jaga. Maka, pada pukul 08.30
WITA, ia sudah tiba di restoran tempat ia bekerja.
Restoran tempat Ibu Sora bekerja
dikelilingi oleh tembok tinggi dan juga ada satpamnya. Pak Tagor adalah satpam
yang sudah 10 tahun bekerja dan 2 tahun lebih muda dari Ibu Sora yang sudah
bekerja selama 12 tahun.
Di restoran, Ibu Sora dikenal dengan
orang yang ramah, baik, disiplin, mudah senyum. Kelihatannya, kebiasaan itu
adalah hal yang selalu dirindukan setiap orang termasuk Pak Tagor. Suatu hari,
Pak Tagor pernah merasa kekurangan dalam hidupnya saat ia bekerja. Saat itu Ibu
Sora sedang sakit dan tidak masuk kerja. Kekurangan yang Pak Tagor rasakan
adalah senyum sapa Ibu Sora yang selalu dilontarkan kepada Pak Tagor. Selain
mau masuk, Ibu Sora juga melontarkan senyum sapanya ketika mau pulang. Pak
Tagor selalu merasa dihormati oleh senyum Ibu Sora.
Suasana restoran di hari Senin
begitu ramai. Restoran selalu penuh dengan pelanggan. Selain menu yang enak,
restoran juga dihiasi dengan dekorasi indah yang diganti tiap akhir pekan.
Ibu Mina adalah pemilik restoran
indah itu. Ibu Mirna dikenal dengan orang yang tegas. Ibu Mirna sangat bangga
mempunyai Ibu Sora di restoran. Sebab, berkat Ibu Sora, restoran selalu
penuh.
Semangat Ibu Sora yang selalu
membara membuat rekan kerjanya heran dan salut terhadapnya. Meski para
pelanggan banyak, Ibu Sora tetap semangat.
“Ibu Sora selalu terlihat semangat
ya.” Singgung Pak Kardi rekan kerjanya membuka dialog saat istirahat.
“Iya Pak. Saya juga heran mengapa
saya seperti ini.” Jawab Ibu Sora dengan senyum halilintarnya.
“Ibu kok bisa seperti itu? Bahkan
hanya ibu yang selalu semangat.”
“Saya hanya menikmati pekerjaan ini
kok pak”
“Oh ya? Saya jadi sangat salut
padamu. Beruntung Ibu Mirna dapat orang sepertimu.”
“Bapak bisa aja” balas Ibu Sora
dengan senyum sederhana.
Istirahat 30 menit pun selesai
dengan stamina yang telah kembali. Pekerjaan pun kembali dimulai. Setiap hari
Ibu Sora dan rekannya selalu bekerja dengan foto pendahuluan yang menghiasi
dapur dan sebuah ruangan bersuhu 00C dekat pintu masuk dapur yang
berisi daging untuk memenuhi menu utama restoran.
Pesanan yang begitu banyak, harus
membuat Ibu Sora mengambil daring dari ruangan dingin itu. Namun Ibu Sora tak
cukup kuat untuk menangkat daging yang massanya 30kg. sehingga Ibu Sora harus
meminta bantuan Pak Kardi. Saat menangkat daging itu, cincin Ibu Sora lepas
dari jari manis kirinya. Ibu Sora tak menyadari hal itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.30
WITA dan restoran sudah kosong sebab para pelanggan sudah tahu bahwa restoran
tutup pukul 19.00 WITA. Ketika beres-beres di ruang ganti pakaian, Ibu Sora
baru sadar bahwa cincinnya tidak ada lagi di jari manis kirinya. Ibu Sora
lantas langsung mencarinya. Setiap sudut ruangan telah digeledah Ibu Sora.
Namun tidak membuahkan hasil yang baik. Namun, 1 ruangan belum Ibu Sora geledah
yaitu ruangan dingin bak salju.
Ketika rekan kerja Ibu Sora sudah
pulang, Ibu Sora harus mencari cincin itu sampai dapat. Karena cincin itu
adalah cincin pernikahannya. Selain memasak, Pak Kardi juga bertugas untuk
menutup ruangan es itu sebelum pulang. Ruangan ekstrim itu pun ditutup tanpa
memeriksa ruangan itu. Sehingga, ruangan itu pun dikunci dengan Ibu Sora di
dalam. Sebab Pak Kardi merasa bahwa semua sudah pulang. Setiap pulang kerja,
Ibu Sora adalah orang yang pertama pulang dan biasanya Ibu Sora menyapa Pak
Tagor dengan senyum halilintarnya.
Selain tugas sebagai satpam, Pak
Tagor juga bertugas menutup dan membuka restoran. Saat hendak menutup restoran,
Pak Tagor merasa ada hal yang kurang. Kekurangan itu sama seperti kekurangan
ketika Ibu Sora sakit, yakni kerinduan akan senyum sapa dari Bu Sora yang belum
ia dapat sore itu. Hal itu menjadi pertanyaan bagi Pak Tagor. Sebab, tidak
pernah Ibu Sora telat pulang. Hal itu mengundang Pak Tagor untuk mencarinya ke
restoran.
Segala
sudut-sudut ruangan telah digeledah Pak Tagor namun sama sekali tidak
membuahkan hasil yang baik. Pak Tagor menyerah dan Pak Tagor selalu dihantui
dengan pertanyaan mengapa senyum sapa Ibu Sora belum juga muncul. Pak Tagor
mencoba menghubungi rekan kerja dan suami Ibu Sora, ternyata Ibu Sora belum
pulang. Semangat Pag Tagor kembali muncul.
“Tolong…tolong…”
Suara itu terdengar dari dapur dengan nada yang sangat lembut. Pak Tagor dengan
sigap mencari suara itu. Ketika sampai pintu dapur suara itu menghilang. Pak
Tagor membuka pintu dapur namun tidak ada siapa-siapa.
“Tolong” suara itu muncul
lagi di ternyata suara itu berasal dari ruangan es yang bersuhu ekstrem. Dengan
cepat Pak Tagor langsung membuka ruangan ekstrem itu. Pak Tagor terkejut
tercengang-cengang melihat Ibu Sora tergeltak di lantai dengan wajah yang
sangat pucat dan tidak sadar. Pak Tagor langsung mengangkat Ibu Sora dan
membawanya ke rumah sakit terdekat.
Dengan kepanikan tingkat dewa, Pak Tagor mencoba menghubungi Pak Reza,
namun tidak ada respon.
Sesampai di rumah sakit, kepanikan pak tagor
semakin merajalela. Handphone pak Tagor berbunyi dan itu adalah panggilan dari suami ibu sora.
Seplang kerja, pak Rezaz langsung ke Rumah Sakit.
“Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?”
Tanya pak Reza panik.
“Ibu Sora pingsan, Pak. Dia
terkurung di ruang es penyimpanan daging.” Dengan wajah pucat, takut dituduh
“Kok, bisa?”
“saya juga idak tahu, Pak.”
Suasana semakin tegang keika dokter
muncul.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya?”
Tanya pak Reza panik.
“Istri bapak hampir saja kehilangan
nyawa”, jawab dokter degan panik juga, “Istri bapak harus dirawat dengan baik
selama beberapa hari ini.”
“Siapa yang membawa aku ke sini?”
Tanya ibu Sora lemas.
“terima kasih banyak, Pak. Jasamu
sungguh berharga.”
“Sebenarnya ini semua berkat senyum, sapa, dan salam ibu
Sora. Kalau misalnya ibu Sora tidak menyapa aku dengan senyum sederhanamu,
mungkin ibu tidak akan selamat. Sebab tadi, saya kurang mendengar senyum sapa
dari ibu. Saya jadi bertanya-tanya, kemana ibu Sora, kok tidak ada sapa
salamnya?”
“Bapak bisa aja”, jawab ibu sora
dengan tersenyum.
Sejak
saat itu, pak Tagor banyak belajar dari ibu Sora. Bahwa senyum, salam, sapa
yang sederhana sangat memiliki makna yang sangat berharga. Sederhana tetapi
sangat berpengaruh.
*By: Brada Sidabutar
Syntaxis IPS 2017-2018
JUBAHKU ADALAH RESTUMU
Murni kasih setia-Nya, kurasakan
dalam hidup ini. Indah hidup ini saat kurajut jalan kasih di dalam
kehendak-Nya. Dinamika kehidupan kini telah terlewati indahnya. Adakalanya
mimpi itu akan tertanam. Sebuah konsekuensi harus dihadapi. Aku memang berani,
tapi apalah dayaku, diantara mereka berdua.
Sejuk cerah perjalananku menapaki
taman ini. Aku sungguh merasakan kemegahan kuasa Ilahi lewat ciptaan-Nya di
dunia ini. Sang khalik ysng sungguh baik. Ia menganugerahkan sebuah rahmat yang
tidak dimiliki insan di tanah tercinta ini, sebuah rahmat panggilan. Cinta,
cita, rasa. Semua terkumpul menjadi satu, kala kurasa gema suara-Nya mendekap
dalam batinku. Ingin rasanya selalu bersama-Nya. Berjalan bersama-Nya dan
dikuatkan oleh-Nya. Suara-Nya sungguh menggema lembut di dalam sanubari, tapi
mengapa selalu ada batu kasar yang mewarnai kelembutan itu. Aku hampir
terjatuh.
Kubangun secercah harapan sebagai
modal awal di pagi yang cerah ini. Sang surya, kian tersenyum melihat perangai
wajahku menunjukkan keriang-riangan. Sinar berkas cahaya menerobos celah
dinding istana keluargaku yang amat penuh sejarah ini. Kulihat asap mengepul
gelap menutupi rongga tengah rumah ini. Aku langsung paham betul situasi ini,
kalau begini bunda sedang menyulap bahan dari ladang untuk menjadi sumber
tenaga bagi keluarga pada hari ini. Kucoba mendekat pada bunda. Aku melihatnya
berusaha kuat menjaga si jago merahagar tetap kuat di pangkuan priuk. Aku
memanggil bunda dengan pelan. Bunda tidak memberikan sahutan sedikitpun. Tidak
biasanya bunda begini. Anaknya yang telah berbulan-bulan di ranah jauh. Tidak
dihiraukannya sama sekali. Muncul tanda tanya besar dalam jiwa. Aku berbalik
haluan, aku mencari ayahanda. Harap. Harap menemukan secercah jawaban darinya.
“Ayah, mengapa bunda begitu?”
“Begini anakku, bundamu telah lama
menahan niatnya untuk melarangmu menjadi seorang pelayan di kebun anggur-Nya.
Apalagi setelah ia menerima sepucuk surat dari petinggimu dari gedung putih itu,
ia tidak merelakanmu, Anakku.”
Tubuh ini hanya bisa terbujur kaku
mendengar ucapan itu. Aku merasa akulah orang yang tiak memetik makna dari
sekian perjalanan panjang yang kulalui. Aku bertanya-tanya dalam hati, jadi apa
gunanya perjuangan selama ini? Jika ini memang yang akan terjadi. Mengapa
sungguh pahit dari semua awal yang akan kutempuh ini?
Serasa jiwa tidak puas, aku kembali
menemukan ibunda. Kini kumulai berbicara bak udara yang mengalun tenang. Aku
menemui ibunda pada momen yang sungguh tepat. Sore hari di beranda rumah ini,
mata ini terpaku pada seorang wanita paruh baya yang sedang menyelesaikan
sesuatu. Ibunda. Ibunda yang selama ini kukenal selalu memberi sebua harapan
yang membuatku semangat dalam menjalani hidup. Aku memberanikan diri untuk
mengeluarkan curahan hatiku
“Bunda, apakah restu bunda masih
kudapat sampai sekarang ini?” Ucapku mengalir pelan.
“Anakku, John, dulu ibunda memang
sangat mendukungmu untuk mengambil bagian dari pelayan-Nya., namun rasanya hal
itu tidak membuat hati ibundamu tenang. Kembalilah, Anakku!” Ucap ibunda
memohon.
Kembali tubuhku terbujur kaku
mendengar ajakan bunda yang menurutku bukan jalan yang terbaik. Kini aku merasa
tidak mampu untuk mengucapkan apa- apa lagi. Aku hanya tertunduk diam dan lesu.
Semangat yang menggelora seketika disiram, sehingga membuat semangat itu,
seakan-akan menjadi pupus. Aku berpikir sejenak, mungkin inilah saatnya menjadi
seorang pemberontak. Mungkin batin berkata kalau tidak baik melakukan seperti
ini, tapi apa daya, situasi yang membuatnya baik untuk melakukan ini. Aku
lantas meninggalkan ibu tanpa mengucap sepatah katapun. Aku tidak mau mengambil
resiko apapun. Mungkin aku akan menunjukkan jalanku sendiri. Mungkin, ini
adalah hal yang gegabah, tapi apa boleh buat, ini adalah jalan yang terbaik
menurutku. Sehelai kertas menjadi ucapan terakhirku bagi penghuni istana
keluargaku ini. Aku menulis kalau aku tetap melanjutkan jalan yang mulia ini,
walau tidak ada restu dari ibu. Aku sempat menuliskan “Semoga keluarga kita
selalu berbahagia” di penghujung tulisanku di sehelai kertas itu. Aku harus
memulai hidup baru, harap. Harap jubah yang akan kukenakan nanti menjadi sebuah
doa restu dari orang yang melahirkanku ke dunia yang fana ini
Memang kuakui perasaanku masih
sangat kacau balau walau dihantam badai cercaan yang tidak mampu diredam oleh
diriku. Langkah ini beradu kuat untuk menapaki jalan yang telah disediakan-Nya
bagiku. Kutahu, dukungan dari keluargalah yang utama menjadi sebuah modal untuk
merajut mimpi dalam dunia panggilan ini.
Now, I know, if my vocation is
mystery
Perjuangan berlipat ganda membuat
diriku semakin mahir dalam meretas semua tantangan yang ada. Beberapa tahun
sudah terlewati. Susah getir, manis gemawan panggilan inimenjadi santapanku
setiap harinya. Gelar frater menjadi
embel-embel di depan namaku, kala tergores dalam secarik kertas atau sebutan
dari saudara- saudari di sekitarku. Tidak terasa kini diriku semakin serius
dalam panggilan ini. Pater Magister sempat bertanya padaku perihal orangtuaku
dan seluk beluk keluargaku. Bibir ini pun dengan lihainya menjawab secara manis
Hari cerah yang ditunggu pun sudah
tepat berada di peraduannya. Kini kuberusaha untuk sanggup berdiri di depan
sang Ilahi mewujudkan suatu tekad. Kuberbisik dalam hati semoga Allah Bapa
menguatkanku untuk mampu hidup murni
untuk-Nya selama-laman-Nya. Taat pada hukum-Nya, ditambah lagi aku berbaur
dengan keberagaman umat pilihan-Nya. Tapi, satu yang membuat batinku sontak
terkejut, dikala mata ini beradu pada dua sosok wajah yang sangat familiar
dalam hati dan ingatanku. Ayahanda dan ibunda. Merka membuat hati ini semakin
bergelora untuk menuju kepada-Nya. Senangnya hampir tidak terperi. Ibunda
berlari memelukku. Linang air mata membasahi keriput yang mempunyai cerita. Kemisterian panggilan hidup sungguh
kurasakan pada hari ini. Keluarga yang indahlah yang membuatku semakin paham
kemisteriaan panggilani ini. Aku merasakan air mata ibu membasahi jubahku.
Kuyakin air mata ibu adalah sebuah kebahagiaan. Kini air mata itu telah melekat
pada jubah pelayanan ini dan menjadi modal untukku agar tetap setia selamanya.
Kasih, Kesetiaan, Percaya dan
mengandalkan Tuhan. (Amsal 3 : 1-26)
*By: Andri Saragih
Poesis_IPS 2017-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar