Sajian Utama
IMAM
TIDAK JATUH DARI LANGIT
Sekali senyum hilanglah
sedih
Dua kali senyum
beban makin ringan
Tiga kali senyum, umur
makin panjang
Empat kali senyum
Terlalu banyak
semyum, anda kurang waras
Demikianlah salah satu tulisan yang pernah saya baca
di beberapa tempat. Saya kira Anda juga pernah melihat tulisan-tulisan senada
yang bisa jadi terkesan kocak seperti misalnya, “awali pagimu dengan senyuman dan jika tidak orang yang bisa kamu
senyumi, senyum-senyum aja sendiri”. Sebaliknya ada yang mengatakan “awali pagimu dengan sarapan dan bukan dengan
senyuman supaya siangnya ngggak kelaparan”. Ada-ada saja memang. Tentu tidak
semua ungkapan-ungkapan kocak itu benar semuanya. Akan tetapi pada dasarnya senyum
itu memberikan dampak positif baik kepada diri sendiri maupun kepada orang
lain.
Dalam beberapa kesempatan saya pernah mengamati
beberapa warung makan yang setiap hari pengunjungnya cukup banyak. Sementara
warung makan tetangganya, walaupun dengan menu yang sama dan saya kira tidak
kalah enak, toh kurang laris. Ternyata karenapelayan rumah makan itu lebih
ramah. Memang hukum alamnya makanan dan minuman itu akan enak semuanya jika
disantap pada saat lapar dan haus. Tetapi meski demikian, hal itu tidak berarti
jika anda dimarahi sebelumnya. Bayangkan Anda ketika sedang makan,
dibentak-bentak ataupun dipandang sinis. Saya sangat yakin, menggigit rendang
itu akan seperti menggigit sandal swallow. Sebaliknya, saat anda sebelum anda
makan dikasi senyuman, ikan asin akan serasa rendang.
Saya bukan terutama hendak membahas senyuman di sini.
Tema yang hendak saya angkat ialah pentingnya keharmonisan keluarga terhadap
kelangsungan calon-calon imam. Kita sepakat bahwa dengan senyum tidak jaminan
keluarga harmonis, sebagaimana ada ungkapan nyeleneh
yang mengatakan “senyum tidak
menyelesaikan masalah”. Tetapi
senyuman membuka pintu penyelesaia masalah.
Keluarga Harmonis
dan Pendidikan Calon Imam
Setelah kurang lebih empat tahun menjadi pendamping di
seminari, saya sampai pada kesimpulan bahwa sangat tidak mudah menjadi seorang
pendidik zaman ini. Pertama, karena memang saya dan kebanyakan teman-teman
formator di seminari entah di Seminari Siantar ini ataupun di seminari lain,
memang tidak dibekali secara khusus. Walupun tetap bisa membela diri dengan
mengatakan bahwa “tidak ada orang pernah tamat menjadi pendidik, sebab dia
harus belajar terus menerus selama masih hidup”.
Hal yang membuat sebenarnya yang paling berat ilah
membentuk siswa yang “maaf”, sebelumnya tidak sungguh dididik dalam keluarga.
Tentu para formator bisa didebat dengan mangtakan: “Itulah tugas formator untuk
memformat, sebab jikalau tidak perlu lagi diformat, tidak ada gunanya formator”. Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu.
Tetapi kurang tepat jika kita memaksa tukang las membuat pagar yang sangat
indah dan berseni sementara bahannya dari besi yang tidak karu-karuan
bentuknya. Kurang tepat jika kita mencibir tukang pahat karena tidak bisa
membuat patung yang indah dari kayu yang banyak mata kayunya. Mereka, tukang
las, paha itu pasti bisa menghasilkan karya seni tetapi tidak akan sulit
memenuhi ekspektasi kita.
Kurang lebih sama, seminari memiliki peranan yang
sama, mengolah bahan yang ada. seminari memiliki peran yang penting karena
bertugas mengolah bahan yang ada untuk menjadi produk yang bernilai lebih. Akan
tetapi sekali lagi, perlu kita ingat bahwa output
sangat dipengaruhi input. Bahan yang
diolah seminari itu berasal dari keluarga-keluarga. Saya tidak mau memvonis
bahwa calon-calon yang masuk itu kualitasnya jelek, tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa semakin banyak hal yang sebelumnya diandaikan dimiliki
seminaris itu tetapi ternyata tidak. Hal-hal semacam itulah yang membuat proses
mem-format menjadi lebih berat.
Jika di dalam keluarga sudah harmonis dan penanaman
nilai itu sudah berjalan dengan baik maka sangat enaklah menjadi formator di
seminari. Jika dalam keluarga jarang ada makan bersama, maka wajarlah kalau memang
ditemukan ada siswa yang tidak bisa duduk tenang dan sopan pada saat makan.
Jika dalam keluarga abai dalam doa, maka wajarlah kita temukan banyak siswa
yang sangat gelisah jika sudah menyangkut acara doa. Jika dalam keluarga, si
anak tidak sungguh dikontrol akan penggunaan medsos, maka wajarlah jika kita
temukan siswa yang sangat marah ketika diskors tidak internet. Jika dalam
keluarga, orangtua tidak sungguh bisa memegang kendali atas anaknya, maka
wajarlah jika kita temukan siswa yang sangat tidak terima jika dikoreksi.
Sekali lagi tulisan ini tidak bermaksud mau melempar
tanggung jawab sebagai formator. Akan tetapi harapan bahwa akan semakin banyak,
semakin banyak yang bisa ditanamkan nilai, jika memang bahan baku, yakni anak
dalam keluarga sudah tinggal dalam keluarga yang harmonis.
Marilah Memilih yang lebih mudah
Akhir akhir ini cukup laris manis dijual buah-buahan
yang memiliki bentuk-bentuk unik. Misalnya ada semangka berbentuk kotak,
persegi dan bawak mirip wajah orang. Ini sungguh nyata dan bisa dibuat dengan
syarat disaat buah itu masih kecil, dia dimasukkan semcam wadah cetakan sesuai
dengan yang kita inginkan. Artinya apa? Bahwa untuk membentuk karakter anak dan
mencapai hasil yang maksimal, bentuklah mulai dari kecil.
Jika diibaratkan dalam membangun, buatlah fondasi yang
bagus sebab itulah yang menjadi penentu keberhasilan bangunan. Fondasi memang
tidak sungguh kelihatan dalam sebuah bangunan, tetapi sebagus apapun bangunan
yang berdiri di atasnnya akan sia-sia jika fondasi tidak bagus. Atau kalupun
bisa berdiri, paling tidak dia tidak akan bertahan lama terhadap segala hujan
badai. Karena itulah Yesus dalam sabda-Nya mengatakan hal yang sama, bodohlah
orang yang membangun rumah di atas pasir. (bdk. Mat 7:24-27)
Jadi sebenarnya jauh lebih mudah jika sejak awal
setiap keluarga katolik membentuk anaknya, mendidik anaknya dalam hidup
keseharian daripada si anak menginjak remaja atapun dewasa. Masalah klasik yang
terjadi ialah membiarkan anak dibersarkan oleh lingkungan, tetangga, warnet,
televisi dsb. Sehingga memang banyak anak tersebut meskipun darah daging kita
tetapi dia adalah anak yang dibersarkan oleh tetangga, leingkungan, internet,
hp, televisi. Akhirnya memang keluarga ataupun orangtua sendiri merasa
kesulitan sebab anaknya sendiri tidak bisa dikuasainya. Oleh karena itu jika
lebih mudah membentuk yang kecil, mengapa harus memilih yang sulit, yakni
mengarahkan orang yang sudah dewasa.
Janganlah menjadi tidak bisa tersenyum membaca tulisan
ini, etaplah tersenyum walaupun tidak menyelesaikan masalah karena senyuman
membuka pikiran kita akan segala jalan keluar dari masalah.
*by: RD. Parlindungan Purba
Koordinator Prefek di Seminari Menengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar